Suatu
Renungan kecil saat dilangsungkannya Muktamar Muhammadiyah ke-45
bertempat di Kampus Universitas Muhammadiyah Malang
menjadi Satpam... hanya untuk makan nasi kotak gratis (Ha9x)
Beberapa waktu yang lalu penulis coba berdiskusi dengan seorang
teman tentang Muhammadiyah, pertanyaan dimulai dari; Muhammadiyah itu
sebenarnya gerakan keagamaan atau gerakan sosial?, kalau gerakan keagamaan
dengan jargon “ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah” dan berantas TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) dan tentu saja Islam yang
bebas dari syirik, karena
sesungguhnya TBC adalah anak kandung dari syirik.
Sampai sejauh mana Muhammadiyah telah mengupayakannya? Karena praktek-praktek
TBC masih sangat marak beredar dikalangan umat. Walaupun memang ada perangkat
persyarikatan Muhammadiyah seperti Majelis Tarjih beserta turunannya seperti
“Fatwa Agama” Suara Muhammadiyah, namun ternyata juga tidak dapat melembagakan
nilai-nilai ke-Islaman yang dapat dipegang oleh umat, dalam lingkungan
Muhammadiyah, pertanyaannya apakah warga Muhammadiyah ketika tidak mengikuti
hasil Tarjih Muhammadiyah, masih dapat dikatakan sebagai warga Muhammadiyah?
adakah kekuatan memaksa dan mengikatnya? Padahal itu berbicara tentang hukum?
Tidak tahu apakah ini karena
“Doktrin Islam Non Mahzab” yang menjadi pandangan filosofi-ketuhanan
Muhammadiyah?[1]
padahal dalam Pasal 2 Anggaran Dasar [AD] Muhammadiyah tentang Maksud dan
Tujuan berbunyi ”Maksud dan Tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan
menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya.” Seperti apa masyarakat Islam yang sebenar-benarnya?, mengacu
pada Qur’an dan Sunnah? Ini mengingatkan penulis pada catatan harian Ahmad
Wahib tentang Islam yang sebenarnya, pada tanggal 28 Maret 1969 aktifis HMI
yang mati muda itu menulis :
“aku belum tahu apakah Islam itu
sebenarnya. Aku baru tahu Islam menurut HAMKA, Islam menurut Natsir, Islam
menurut Abduh, Islam menurut Ulama-ulama kuno, Islam menurut Djohan, Islam
menurut Subki, Islam menurut yang lain-lain. dan terus terang aku tidak puas.
Yang kucari belum ketemu, belum terdapat yaitu Islam menurut Allah, pembuatnya.
Bagaimana? Langsung studi dari Qur’an dan Sunnah? Akan kucoba, tapi orang-orang
lain pun akan beranggapan bahwa yang kudapat itu adalah Islam menurut aku
sendiri. Tapi biar, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang
kufahami itu adalah Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu!”[2]
Melihat itu benar kiranya jika masyarakat berkata untuk beberapa
praktek keagamaan (ibadah ritual) bahwa “itu Islam menurut Muhammadiyah”.
wacana atau wawasan keagamaan dalam Muhammadiyah tampak sangat kering padahal
kata Cak Nur—panggilan akrab Nurcholish Madjid—“wawasan mutlak diperlukan tidak
saja sebagai perangkat yang memberi kesadaran menyeluruh atas semua kegiatan
amaliah...tetapi juga sebagai sumber energi bagi pengembangan dinamik dan kreatif
kegiatan amaliah itu sendiri” itu dilontarkan sebagai kritik terhadap
Muhammadiyah bahwa dengan semakin banyaknya amal usaha Muhammadiyah dapat
menyeret pada kepraktisan. Ditambahkan oleh Habib Chirzin bahwa amal usaha
Muhammadiyah yang kian merebak saat ini banyak lahir dari peniruan dan
pengulangan amal usaha yang sukses tanpa mengaitkan lagi dengan ide dasar.[3]
Lebih parah lagi terkait dengan pemberantasan TBC pernah ditemukan
dalam Tabloid Adil, adik kandung Suara Muhammadiyah No.28/Tahun Ke-69 bulan
April 2001 pada hal 16 tertulis sebuah iklan yang berbunyi; “Pusat benda-benda
bertuah, lillahi Ta’ala: Asma’ Azimat dll. Aji-aji Pamungkas Jagat. Mahakarya
Ampuh oleh para Hukama yang Waskita dalam Ilmu Hikmah dan Khodam”[4] apa yang
terbayang di benak kita? Hilangkah sudah orientasi itu?
Kedua, berbicara Muhammadiyah sebagai gerakan sosial, teman saya
mengutip sebuah cerita yang kerapkali menjadi bahan khotbah khatib Sholat
Jum’at di banyak Masjid Muhammadiyah yakni “Geger Surat Al Maun” di Yogyakarta.
Dimana K.H. Ahmad Dahlan mencontohkan bahwa memahami Islam tidak cukup hanya
dengan perenungan, yakin dan percaya pada Allah SWT, atau menjalankan perintah
dan menjauhi larangan-Nya, melainkan kemudian harus menurunkannya langsung ke
dunia nyata, kehidupan sosial kemasyarakatan, salah satunya menyantuni kaum dhuafa’ membela kaum mustadzafin sebagaimana kasus Al Maun.
“Teologi Al Maun” bahasanya Haedar Nashir[5] dapat
dikatakan bercorak “teologi pembebasan” atau “teologi transformatif” namun
ketika melihat wajah Muhammadiyah kini, sirna mungkin harapan itu... dimana
dengan amal usaha yang tersebar luas di seluruh Indonesia membuat Muhammadiyah
perlahan-lahan—mudah-mudahan tidak pasti—bergeser menjadi sebuah organisasi
pengumpul kapital. Katakanlah banyak—kalau tidak boleh dikatakan
semua—Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) tidak dijadikan sebagai media dakwah
yang bersifat transformatif sebagaimana cita-cita awal yang dirintis K.H. Ahmad
Dahlan, malahan PTM-PTM tersebut jauh dari jangkauan kaum dhuafa’ dan mustadzafin
dengan kata lain pendidikan bagi “Muhammadiyah” hari ini adalah untuk mereka
yang punya uang. Pun berlaku bagi Rumah Sakit Muhammadiyah dan “amal”usaha-nya
yang lain.
Bagaimana nanti?
Dalam momentum Muktamar Muhammadiyah
ke-45 di Malang yang akan diselenggarakan pada minggu pertama bulan Juli 2005
ini, penulis pikir merupakan momen yang sangat tepat untuk kemudian refleksi,
evaluasi dan merenungkan kembali sejauh mana Muhammadiyah telah melangkah?
Masihkah ia berada pada rel khittah-nya?
Layakkah ia untuk tetap dipertahankan?
Muhammadiyah yang konon katanya
lahir terdorong dari sebuah firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran
(3) Ayat 104 yang berbunyi; “dan hendaknya ada di antara kaum segolongan umat
yang menyeru pada al-khayr, amar ma’ruf dan
nahy-i munkar, merekalah orang-orang
yang beruntung.” harus kembali merenungkan firman tersebut karena makna al-khayr, amar ma’ruf dan nahy-i munkar tidak sesederhana
bahasanya, karena trilogi ini menurut Cak Nur[6],
merupakan pusat perjuangan umat Islam sepanjang sejarah. Trilogi ini juga yang
menjadi dasar keunggulan umat Islam atas umat yang lain sehingga mereka disebut
sebagai “yang beruntung, yang menang atau yang bahagia” (al-muflihun).
Namun semua ini tidak bisa disikapi secara taken for granted karena yang pertama dari trilogi itu, yakni
seruan kepada al-khayr menuntut
kemampuan umat Islam—melalui para pemimpinnya/organisasinya dalam hal ini
Muhammadiyah—untuk dapat memahami nilai-nilai etis dan moral yang universal,
yang berlaku disetiap zaman dan tempat sebagaimana dikatakan Rasyid Ridha
“tingkat pertama ialah ajakan umat ini (umat Islam) kepada umat yang lain
kepada al-khayr dan agar mereka
menyertai umat ini dalam cahaya dan hidayah” dalam tafsir al-Manar-nya Rasyid Ridha, menjelaskan bahwa al-Khayr adalah al-Islam. Tanpa
kemampuan ini kita tidak akan mempunyai pedoman yang jelas yang menjadi
tuntutan dan bimbingan kita dalam menghadapi masa depan.
Sedang yang kedua dari trilogi itu
ialah amar ma’ruf menuntut kemampuan
memahami lingkungan hidup sosial, politik dan kultural—lingkungan yang menjadi
wadah terwujudnya al-khayr secara
kongkret, dalam konteks ruang dan waktu. Disini juga perlu diperhatikan
lingkungan dalam konteks ruang dan waktu yang menjadi wadah bagi terjadinya
keburukan nyata, yang beroperasi dalam masyarakat. Lingkungan buruk akan
menjadi wadah bagi al-Munkar sehingga
masyarakat bersangkutan mungkin akan terkena wabah dosa dan kezaliman, karena
itu yang ketiga dari trilogi ini adalah nahy-i
munkar yang menuntut kemampuan kita, umat Islam mengidentifikasi
faktor-faktor lingkungan hidup, kultural, sosial, politik dan juga ekonomi yang
kiranya akan menjadi wadah munculnya perangai, tindakan, perbuatan yang
bertentangan dengan hati nurani (tindakan yang tidak ma’ruf), kemudian diusahakan untuk mencegah dan menghambat
pertumbuhan lingkungan itu.
Pemahaman terhadap lingkungan dalam
arti seluas-luasnya ini merupakan fungsi dari ilmu, termasuk sains. Sedangkan
sikap membenarkan dan menerima al-khayr
merupakan fungsi dari iman dan komitmen batin, karena itu tidak mungkin tanpa
tauhid dan taqwa kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dasar semua kegiatan yang
benar.
Demikian kiranya sekedar renungan
bagi kita semua, warganya? semoga Muhammadiyah mampu merevitalisasi diri dan
mempertegas kembali orientasi yang telah dibangun sejak 1912 untuk menjadi
sebuah gerakan kaffah, gerakan
keagamaan dan gerakan sosial (two side of
coin) sekali lagi, “dan hendaknya
ada di antara kaum segolongan umat yang menyeru pada al-khayr, amar ma’ruf dan nahy-i
munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”
Billahittaufiq Wal Hidayah, Fi Sabilil Haq
[1] Lihat, Ahmad Syafii Maarif, “Karakteristik Muhammadiyah” dalam
dalam Majalah Tengah Bulanan, Suara Muhammadiyah No.11/Th.Ke-86//1-15 Juni
2001.
[2] Lihat, Djohan Effendi dan Ismed Natsir, ed., Pergolakan pemikiran Islam, Catatan harian Ahmad Wahib, Cet.6 (Jakarta: LP3ES kerjasama
dengan Freedom Institute, 2003) hal.27.
[3] Habib Chirzin, Nurcholish Madjid dan Syafii Maarif, “Kritik dan
Harapan” dalam Tim Pembina AIK UMM, Muhammadiyah, Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha (Malang : Pusat Dokumentasi dan
Publikasi UMM, 1990) hal.223-224.
[4] “TBC di Tabloid Adil” Surat Pembaca dalam Suara Muhammadiyah
No.12/Th.Ke-86//16-30 Juni 2001.
[5] Lihat, Haedar Nashir, “Nalar Kritis “Kiri” dan Mozaik Muhammadiyah
(2)” dalam Suara Muhammadiyah No.13/Th.Ke-86//1-15 Juli 2001.
[6] Nurcholish Madjid, “Al-Khayr,
‘Amar Ma’ruf dan Nahy-i Munkar”
dalam Cendekiawan dan Religiusitas
Masyarakat, kolom-kolom di tabloid Tekad, (Jakarta: Paramadina bekerja sama
dengan Tabloid Tekad, 1999).
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* : 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar
sebenernya sih enggan, karena takut juga dengernya, tapi gimana lagi ntar dibilang melanggar HAM, ga' ngasih tempat buat protes, dah nulis ga' tanggung jawab.. okelah konstruktif, dekonstrukstif maupun dekstruktif sekali pun aku siap dengarnya.
thanks for comment..