dalam Seminar Pendidikan Anti Korupsi Tingkat SMU se-kab. Barito Timur ___________
Setelah dilakukan penandatanganan Nota
Kesepahaman antara KPK dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 09
Maret 2012 yang lalu, Mendikbud, Mohammad Nuh, menyatakan bahwa mulai tahun
ajaran baru, Juli mendatang, secara serentak akan dimulai pendidikan anti
korupsi di sekolah dan perguruan tinggi. Pendidikan ini tidak hanya
diberlakukan kepada peserta didik, tetapi juga insan pendidikan termasuk kepala
sekolah untuk menonjolkan aspek edukasinya. “Pendidikan anti korupsi tidak bisa
ditawar. Harus kita lakukan mulai tahun ini," tegasnya.[1]
Sebelum kita sharing tentang apa dan bagaimana arah pendidikan anti korupsi, ada
baiknya kita bertanya sesungguhnya untuk
apa sih pendidikan? buat apa sekolah? untuk meningkatkan taraf hidup? untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak?.
Bahwa ada pandangan yang
menganggap bahwa pendidikan sebagai jalan menuju dunia kerja yang diinginkan,
dimana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin bagus pula
pekerjaan yang ia dapat, kira-kira begitu. Pandangan ini tak sepenuhnya salah,
bila kita melihat bahwa dalam mencari pekerjaan selalu dan pasti menyertakan
syarat berupa pendidikan minimal entah itu SMU atau bahkan S-1. Hanya saja bila
pandangan simplistik tersebut menjadi satu-satunya pijakan dalam
penyelenggaraan pendidikan, maka pendidikan menjadi tak lebih dari objek pasar,
objek kapitalisasi.
Bahwa
pendidikan dalam arti umum atau luas kerap kali disebut dengan istilah
pedagogi, meskipun sesungguhnya pedagogi adalah salah satu pendekatan yang
dipakai dalam penyelenggaraan pendidikan, dalam proses belajar-mengajar. Secara
bahasa, pedagogi berasal dari bahasa yunani kuno terdiri dari dua kata yaitu Pais
yang berarti anak (child) dan Agi yang berarti memimpin (lead),
jadi pedagogi berarti lead the child atau memimpin anak[2].
.
Nah implikasi salah pandang yang ada dalam pendekatan yang dipakai selama ini
dalam proses pendidikan membawa konsekuensi
logis menempatkan
peserta didik
sebagai “murid”
yang pasif. Murid sepenuhnya menjadi obyek suatu proses belajar seperti misalnya,
- Guru mengajar, murid belajar
- Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
- Guru berpikir, murid dipikirkan
- Guru bicara, murid mendengarkan
- Guru mengatur, murid diatur
- Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
- Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya.
- Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri.
- Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid.
- Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.[3]
Kegiatan belajar mengajar model ini menempatkan
guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran[4]
Hal
inilah yang kemudian menjadikan pendidikan tidak lebih dari sekedar sarana
transfer pengetahuan (knowledge)
bukan transfer nilai (values) yang
lebih menekankan pada aspek sikap, moral, dan karakter peserta didik. Hal ini
juga membuat masuk akal (make sense)
kalau pelaku korupsi itu adalah mereka yang banyak—bila tak boleh mengatakan semua—berpendidikan tinggi, orang yang
berpengetahuan dan memiliki ilmu, hal tersebut jelas membuat tanda tanya besar
bagi kita apa yang dilakukan lembaga pendidikan? Kemana Pendidikan Moral
Pancasila (PMP) atau PPKN atau bagaimana kabar pendidikan Agama? a p a p e ng a r u h n y a ?
Belum
lagi bila kita sepakat bahwa korupsi kini juga mewabah dalam lembaga
pendidikan, tak dapat dipungkiri penyimpangan dana BOS (Bantuan Operasional
Sekolah), penyelewengan Beasiswa Miskin, penciptaan uang gedung, atau uang
bangku, atau uang kaos kaki dan uang segala macam jenisnya itu membuat kita
semakin pesimis dengan gagasan pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah
apalagi hal tersebut tentu dilakukan oleh guru, oleh seorang pendidik, yah kita
bisa saja seperti biasa mengatakan bahwa itu hanyalah oknum tidak mencerminkan
lembaga atau instansi dimana dia mengabdi, tetapi kenapa bila ada seorang guru
yang berprestasi, yang bekerja secara profesional, berdedikasi, jujur, adil,
bertanggung jawab dan memiliki komitmen tinggi untuk dapat menulari peserta
didik sehingga memiliki sikap dan perilaku seperti dirinya tidak kita sebut
oknum? ada guru berprestasi di Sekolah
Meneng Ae... oknuumm… ada guru yang seperti Ki Hajar Dewantara di Sekolah
Menengah Uatas…ah cuman oknum..
Tetapi
tentu saja model pendidikan atau kondisi lembaga pendidikan itu sendiri
sebagaimana digambarkan di atas tidak membuat kita kemudian menjadi apatis
dengan gagasan Pendidikan Anti Korupsi, kita harus tetap optimis, bahwa hakekat
pendidikan sesungguhnya adalah membentuk pola pikir, pola sikap dan pola laku
peserta didik, pendidikan adalah “proses memanusiakan manusia
kembali”[5],
membebaskan peserta didik dari belenggu kesadaran magis (magical consciousness),
kesadaran naif (naival consciousness) dan membuka pintu menuju kesadaran
kritis (critical consciousness).
Untuk itulah konsep pendidikan
anti korupsi yang digagas oleh kemendikbud yang akan dimasukkan dalam kurikulum
harus lebih menekankan pada sisi afeksi disamping kognisi, dimana sisi afeksi
ini lebih menekankan pada pendidikan karakter dan perubahan pola pikir peserta didik.
Oleh karenanya setidaknya ada dua
tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan anti korupsi ini. Pertama, untuk menanamkan semangat anti korupsi
pada setiap anak bangsa. Melalui pendidikan, diharapkan semangat anti korupsi
akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan tercermin dalam perbuatan
sehari-hari. Sehingga pekerjaan membangun bangsa yang terseok-seok karena
adanya korupsi di masa depan tidak terjadi lagi. Kedua adalah menyadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya
tanggung jawab lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian,
melainkan menjadi tanggung jawab setiap anak bangsa. Bahwa korupsi adalah musuh
bersama (common enemy), dengan begitu
setiap peserta didik akan menjadi Pegiat Anti Korupsi yang senantiasa
mengkampanyekan perlawanan terhadap korupsi, menjadi Individu-indvidu yang akan
mewujudkan Masyarakat Anti korupsi.
Berikutnya adalah metode/model pembelajaran,
sebagaimana tujuan, Pendidikan Anti Korupsi bukanlah pembelajaran tentang “ilmu
anti korupsi”, dimana pendidikan anti korupsi dianggap berhasil kalau peserta
didik tau dan hapal apa itu korupsi, mengerti dampaknya ataupun paham akan saksi-sanksinya.
Maka model pembelajaran Pendidikan Anti Korupsi harus berani keluar dari
koridor pendidikan yang ada selama ini, model Pendidikan Hadap Masalah (problem
posing education) patut dicoba,
dimana peserta didik menjadi subyek
yang belajar, subyek
yang bertindak dan berpikir, dan pada saat bersamaan
berbicara menyatakan
hasil tindakan dan buah pikirannya. Begitu juga sang guru. Jadi keduanya
(peserta didik dan guru) saling belajar
satu sama lain, saling
memanusiakan. Dalam proses
ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh peserta didik dan
pertimbangan sang guru sendiri diuji
kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan para peserta didik, begitu
pula sebaliknya. Hubungan keduanyapun menjadi subyek-subyek,
bukan subyek-obyek sebagaimana “gaya bank”. Obyek mereka adalah realita. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat
inter subyek untuk memahami suatu
obyek bersama.[6]
Guna mengimplementasikan problem
posing education dalam tataran praktis pembelajaran, maka metode dialog (dialogical
method) menjadi suatu cara kondusif yang dapat mengembangkan dan memperkuat
proses pembelajaran bersama dalam metode ini semua mengajar dan semua belajar
dengan cara ini pembelajaran menjadi sangat egaliter dimana tak ada fihak
mendominasi fihak lain Pendidik dan Peserta didik sama-sama belajar dari
masalah-masalah yang dialami dalam kehidupannya. in this method, all teach
and all learn. The dialogical approach contrasts with the anti-dialogical
method, which positions the teacher as the transmitter of knowledge, a
hierarchical framework that leads to domination and oppression through the
silencing of students’ knowledge and experiences. Metode dialog ini amat
menentukan pendidikan yang benar seperti pernyataan Freire bahwa “without
dialog there is no communication, and without communication there can be no
true education“.[7]
Untuk mendukung hal tersebut,
perlu dilakukan proses grounded study.
Studi lapangan ini penting untuk mengumpulkan fakta dan data, bahwa korupsi
memang sudah demikian membudaya di tanah air. Para peserta didik perlu diajak
melihat fenomena kemiskinan, kesusahan, dan tingginya ongkos ekonomi
dikarenakan tindakan korupsi. Para peserta didik perlu pula melakukan survei
dan pengamatan kondisi pelayanan publik di beberapa instansi pemerintah
katakanlah pembuatan KTP, SIM, atau pelayanan publik lainnya, dimana peserta
didik kemudian mendiskusikan, mencari akar masalah, bersepakat untuk menawarkan
alternatif pemecahan masalah dan rekomendasi yang bisa diberikan. Grounded study ini akan memberikan dua
manfaat. Pertama, menumbuhkan rasa kepedulian sosial yang tinggi pada siswa
melalui the joy of discovery yang
mereka lihat dari pengamatan akan fakta-fakta sekitar korupsi. Kedua,
membiasakan peserta didik terbiasa kreatif dan inovatif, serta berorientasi
pada keinginan untuk tahu (curiosity)
melalui proses diskusi dan penyusunan rekomendasi yang mereka lakukan.
Last but not least, sebelum kita berdiskusi dengan lebih intens, bila perubahan pola pikir
telah terlihat, sesungguhnya adalah apa yang ada dalam falsafah budaya kita
bahwa guru itu untuk digugu dan ditiru, ya perubahan sikap. Bahwa
Pendidikan Anti Korupsi adalah upaya pembentukan karakter yang menekankan pada
kebiasaan bukan hapalan kognitif. Untuk itu korupsi (penyimpangan) dalam dunia
pendidikan dari hal-hal yang selama ini disepelekan seperti korupsi waktu
sebutlah terlambat masuk kelas, masuk hanya pada jam pelajaran, atau pemotongan
jam belajar karena urusan pribadi, kolusi menyontek, atau melakukan kebohongan dan
ketidakjujuran seperti tindakan plagiat, dan perilaku lainnya yang Anti
Pendidikan harus segera ditinggalkan. Akhirnya, bukankah hukum perubahan
mengatakan bahwa :
-
Perubahan pikir akan merubah sikap,
-
Perubahan sikap akan merubah aksi (tindak),
-
Perubahan aksi akan merubah kebiasaan,
-
Perubahan kebiasaan akan merubah karakter dan
- Perubahan karakter akan merubah nasib, ya merubah nasib bangsa yang hampir
sekarat digerogoti penyakit yang bernama korupsi itu!
[1]
http://talentnews.blogspot.com/2012/03/mendikbud-dan-ketua-kpk-tandatangani.html
[2] sedangkan
pendekatan mendidik/ilmu mendidik orang dewasa disebut andragogi.
[3] Roem Topatimasang “Memahami Filsafat Pendidikan Paulo Freire” dalam Pendidikan Popular
: Panduan Pendidikan untuk Rakyat, ReaD Book, 2000
[4] Hal ini disebut
dengan banking concept of education
dimana pembelajaran memandang bahwa peserta didik hanyalah bejana yang harus
diisi oleh guru/pendidik sebagaimana layaknya menabung di bank dan guru sebagai
penabungnya untuk mengisi tabungan peserta didik yang masih kosong.
[5] Gagasan ini
berangkat dari suatu analisis
bahwa sistim kehidupan sosial, politik, ekonom, dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses ‘demumanisasi’. Pendidikan, sebagai bagian dari sistim masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran
atau
pandangan hidup masyarakat
terhadap diri mereka
sendiri. Freire menggolongan
kesadaran manusia menjadi:
kesadaran
magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness). Bagaimana
kesadaran tersebut
dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat secara sederhana diuraiakan sebagai
berikut :
Pertama kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat
yang tidak mampu mengetahui kaitan antara
satu faktor dengan faktor lainnya.
Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka
dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural)
sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika proses
belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka proses
belajar mengajar tersebut dalam prepektif Freirean
di sebut sebagai pendidikan fatalistik.
Proses
pendidikan model
ini
tidak memberikan kemampuan
analisis, kaitan antara sistim dan
struktur terhadap satu permalahan masyarakat.
Murid secara dogmatik
menerima ‘kebenaran’ dari guru,
tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’
ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Yang kedua adalah kesadaran naif. Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’
menjadi akar penyebab masalah masarakat. Dalam kesadaran ini ‘masalah etika,
kreativitas, ‘need for achievement’ dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan
karena ‘salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya
‘membangunan’ dan seterusnya. Oleh karena itu ‘man power development’ adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi
pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan
sistem dan struktur yang ada adalah sudah
baik dan benar, merupakan faktor
‘given’
dan
oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan.
Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan
sistem yang
sudah benar tersebut.
Kesadaran ketiga disebut
sebagai kesadaran Kritis. Kesadaran ini
lebih melihat aspek sistem dan
struktur sebagai sumber masalah.
Pendekatan struktural
menghindari ‘blaming the victims” dan lebih menganalisis
untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan
budaya dan akibatnya pada keadaaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidak adilan’ dalam sistem dan struktur yang ada,
kemudian mampu
melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja,
serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar
peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur
yang secara fundamental baru dan lebih
baik. Lihat Mansour Fakih, Paradigma
Pendidikan dan implikasinya terhadap metode dan praktek pendidikan dalam
Pendidikan Popular : Panduan Pendidikan untuk Rakyat, ReaD Book, 2000.
[7] Dr.Uhar Suharsaputra, Apa itu Critical Pedagogy?
dicomot dari http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/07/22/ pendidikan-kritis/
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* : 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar
sebenernya sih enggan, karena takut juga dengernya, tapi gimana lagi ntar dibilang melanggar HAM, ga' ngasih tempat buat protes, dah nulis ga' tanggung jawab.. okelah konstruktif, dekonstrukstif maupun dekstruktif sekali pun aku siap dengarnya.
thanks for comment..