04 Januari, 2009

Gender yang lain..

Mulanya karena ehem.. sayangku mengeluh katanya “setelah membaca buku-buku tentang feminisme, aku kok jadi bingung ya, sebenarnya apa sih yang diinginkan oleh kaum feminisme dengan gerakannya, kesetaraankah? bukankah hari ini ruang publik bagi kaum perempuan sudah terbuka lebar?” mendengar itu pikiranku langsung review tentang wacana gender yang menjadi konsumsi wajib bagi kaum perempuan umumnya dan bidang Urusan Peranan Perempuan (UPP) di organisasi tempatku belajar banyak hal, sebab seingatku sejak ketipu masuk organisasi yang lahir 1947 itu pada tahun 2000, bidang UPP tiap periodenya pasti, tidak pernah tidak mengagendakan kajian gender dalam program kerjanya. Sudahkah selesai? Kapankah selesainya? benakku tersentak
Secepatnya aku bertanya,
aku          : Kalau menurutmu gender itu apa sih?
sayangku : Konstruk sosial.
aku          : Ya, konstruk sosial bagaimana, bukankah semua yang berada di tengah masyarakat adalah konstruk sosial, kita berpacaran (ceileh) mungkin jadi karena konstruk sosial ya ga’?
sayangku : Ya, konstruk sosial dalam perbedaan antara laki-laki dan perempuan..
aku          : Ya iyalah sayang, kamu montok aku ceking dan lagi..
sayangku : Bukan itu tapi pada fungsi dan peran, status juga, kenapa coba perempuan musti di dapur, sumur dan kasur saja?aku          : Ah itukan dulu sayang, sekarangkan dah beda, sekarang itu pedicure, medicure dan body languange he3x..
Kalau memasak itu tugas perempuan, koki di banyak hotel dan restaurant itu mayoritas laki-laki loh, salon-salon, penata busana, desainer juga banyak laki-laki, lagian emang perempuan mau jadi kuli bangunan hayo? Ngangkat semen (ini semen betulan bukan semen yang lain), pasir.. apa perempuan mau ngegodam batu di jalan-jalan, ngaspal, jadi tukang becak? Kalau kesetaraan dan tidak ada perbedaan ruang, maka laki-laki sudah masuk dalam ruang perempuan, bagaimana dengan perempuan? Kamu pasti mau bilang lihat eksploitasi perempuan di media, ya kukira perempuan saja yang mau, coba kalau tidak tentu tidak akan terjadi, itu namanya diperkosa minta lagi malah kecanduan.
sayangku : (berpikir sepertinya) …betul juga sih, perempuan.. ah mungkin disanalah kostruk sosialnya
aku          : sayang, kalau perspektifnya ditindas-menindas, kukira apa yang dilakukan oleh kaum feminisme sama seperti yang dilakukan oleh kaum proletar dalam paham komunisme, tujuannya jelas sama, merebut institusi kekuasaan untuk berkuasa, jadi kaum perempuan dalam gerakan feminisme itu ingin berkuasa atas laki-laki..
sayangku : Tapi..
aku          : Makanya kukira bukan itu sayangku, mimpiku.. bukan soal laki-laki tindas perempuan, sejarah mencatat raja-raja perempuan dulu juga sama gilanya dengan raja laki-laki. Bukan laki-laki dan perempuannya, karena bisa saja laki-laki eksploitasi laki-laki begitu pula sebaliknya perempuan eksploitasi perempuan ya ga’? tetapi ini lebih kepada pola hubungan yang penuh dominasi dan hegemoni, gender harusnya dapat membebaskan pola hubungan itu menjadi pola hubungan yang transformatif, kesetaraan yang dimaksud kupikir disana.
sayangku : Gitu ya..

Wajahnya jadi tambah manis, suasanapun tergoda dan ah.. aku kok yakin ini tidak perlu diteruskan, ya karena pembaca yang budiman, bukankah kita yang mengaku bertauhid percaya bahwa, “bila ada 2 orang laki-laki dan perempuan berduaan di tempat sepi, maka yang ketiga adalah Tuhan”. Jadi kita hentikan disini saja, karena aku mau ngajak kita semua untuk menyimak pengalaman lain, di tempat lain pula, namun masih dalam wacana gender.
Waktu itu Ramadhan 1427 H, entah bisakah kita sebut silam, juga wacana itu ah peduli amat, bagiku dan temanku yang bernama “Ujian”—sampai sekarang aku masih sering tersenyum sendiri bila mengingat orang tuanya memberi nama ujian—semua masih up to date yah paling tidak bagi kami berdua, sambil menikmati sahur di warung mbak Dewi,
aku   : Apa menurutmu, gender di organisasi kita sudah selesai? Bukankah dari dulu kita bicara gender melulu?
ujian : Bila pola hubungan yang transformatif seagaimana Habermas konsepsikan adalah tujuannya, kukira belum.
Dalam hal kecil, misalnya pacaran, si laki-laki yang meminta pacarnya mencucikan bajunya atau memasakkan makanan atas nama cinta dan sayang itu sudah mengandung..
aku   : Lemak babi?
ujian : hegemoni dan dominasi, ya kalau tidak ada hubungan itu kukira ia harus bayar untuk permintaannya tadi.
aku   : Betul, tapi kira-kira darimana mulanya konstruk tersebut?
ujian : (seolah-olah ilmiah) Kuduga tertanam sejak kita belum lahir, yang berangkat dari paham paternalisme kolonial, kalau kata Pram (Pramoedya Ananta Toer) itu produk perkawinan antara kolonialisme dan feodalisme.
Dulu hasilnya adalah kelas yang disebut priyayi, politik paternalisme ini kemudian merasuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, sehingga tiap orang memanggil satu sama lain dengan panggilan “Bapak”, padahal itukan hipokrit banget, Bapak, emang kapan kawin sama ibumu?
aku  : Briliant betul Soekarno dulu menciptakan panggilan “Bung” untuk memotong putus paternalisme itu ya? Tapi memang betul, dulu ketika baru masuk organisasi, aku pribadi merasakan bagaimana menjadi sangat kecil di depan para senior, ketika aku harus memanggil mereka “Mas”, dan “Bang”. Selama itu aku tidak pernah merasa merdeka, tidak m,erasa bebas dalam mengumngkapkan pikiran, tidak mampu berbeda dan membantah pendapat mereka, seolah apa yang aku lakukan akan salah saja, akhirnya harus hati-hati karena takut salah, ah itu betul-betul membelenggu. Nah dulu ketika ada kesempatan aku dan teman-teman coba mempopulerkan panggilan “Cak” dan “Bung” yang menururtku panggilan itu cukup merdeka, tak ada subordinat, tak ada garis hirarkis atas-bawah, dan memang secara psikologis beban yang tadinya aku rasakan semakin menghilang.
ujian : Aku pun sering tertawa bila mendengar pengurus-pengurus organisasi itu misalnya memanggil kepada anggota itu dengan panggilan “Dinda”, “Adik” atau “Ade”, jelas dengan begitu hubungan yang terbangun adalah hirarkis, mereka yang dipanggil begitu akan menjadi inferior, konsekuensinya mereka harus dilindungi, kenapa mereka harus dilindungi? Karena mereka lemah, apa lagi? Kukira teman-teman itu belum tuntas.
aku   : Atau sok pikun, sok goblok, karena jelas mereka tau itumenguntungkan.. ya disastu sisi bisa mengambil keuntungan bukankah yang dipanggil begitu pasti hampir tidak pernah tidak cuma anggota yang perempuan.. yang demplon lagi.. tapi yang parah memang pengurus-pengurus perempuan itu, aku lihat malah mereka yang paling banyak melakukan itu.
Namun bila fakta ini diungkap, taruhan berapa..pasti yang jadi perdebatan adalahpanggilan itu untuk menghormati atau untuk bisa lebih akrab.
ujian : Secara pribadi untuk menghormati struktur, aku selalu menggunakan jabatan, misalnya saudara ketua umum, saudara ketua bidang.. dalam forum formalpun aku lebih enjoy memakai panggilan saudara. Untuk panggilan mas itu aku gunakan untuk orang yang tidak aku kenalaku teringat dimana floria (Vita Brevis) dalam suratnya menyebut Santo Agustinus, ia bilang “sangat terasa aneh memanggilmu dengan nama ini” karena biasanya ia panggil dengan panggilan “Aurielku yang lincah”, jadi kalau tidak nama, kita punya panggilan akrab, nah berbeda dengan mereka yang menggunakannya secara terbalik, seperti tadi memanggil anggota dengan panggilan “Dinda” atau “Ade” seolah gila hormat kali.
aku   : Iya sepertinya orang itu mendorongku ke pojok dan memaksaku untuk memanggilnya abang atau mas atau kanda bah!
Akupun tidak pernah meminta dengan baik-baik apalagi memaksa orang untuk memanggilku bang atau mas, bahkan aku akan sangat tersinggung bila ada yang memanggilku begitu hanya untuk menghormatiku la wong Ali Syari’ati aja kita panggil namanya, bahkan seringkali Muhammad juga namanya saja.
ujian : Iya munafik sekali, padahal eksesnya lumayan besar, lihat saja bagaimana pengurus kadang harus pusing sekali jika harus membuat sebuat kebijakan organisasi yang bersinggungan langsung dengan senior atau lihat juga bagaimana senior menggunakan paham itu untuk turut intervensi dalam menentukan jalannya roda organisasi.
aku  : Betul, hampir tiap hari itu terjadi bahkan dulu aku sempat melihat pengurus harus kcing-kucingan dengan seniornya dalam membuat sikap politik pada satu momentum organisasi.. kasihan..
ujian : Gila, paternalisme kolonial itu mesti dihancurkan, kalau ingin organisasi kita ini mau lebih baik! Bagaimana bila kita wacanakan saja ini pada teman-teman.
Aku  : Sepakat.

Begitulah waktu telah menunjukkan pukul 03.15 WIB warung mbak Dewi semakin ramai, kamipun pulang. Namun sangat disayangkan, waktu kembali menunjukkankan kuasanya, aku harus pergi, sementara wacana itu belum begitu massif, lewat tulisan ini kuharap aku, temanku, dan para pembaca yang masih setia hingga akhir tulisan ini mau memulai dari diri kita masing-masing untuk menciptakan pola hubungan yang transformatif.

Post script :
Sayangku, ujian aku minta maaf bila cerita ini sangat begitu kurang atau bahkan sangat dilebih-lebihkan, karena ini hanya sebatas cerita bila kebetulan itu sangat disengaja. Mungkin begitu.
Di Hilir Barito, Kota bersuasana Desa 17 Nov. 2006 12.57 pm.

related post



1 komentar:

  1. Sekarang aku malah merasa jadi korban senioritas. Loh kok? Ya, gara-gara dianggap senior dan panutan, aku jadi kurang bebas, trus ada tuntutan untuk bisa memberikan sumbangsih material. Kalo tidak bisa melakukan itu semua, aku jadi mempunyai beban mental.

    BalasHapus

sebenernya sih enggan, karena takut juga dengernya, tapi gimana lagi ntar dibilang melanggar HAM, ga' ngasih tempat buat protes, dah nulis ga' tanggung jawab.. okelah konstruktif, dekonstrukstif maupun dekstruktif sekali pun aku siap dengarnya.
thanks for comment..