10 Februari, 2011

Pengantar Memasuki Mission HMI. (Bag.1)

Semua yang ada pasti diciptakan dan semua yang diciptakan mesti memiliki tujuan, karena ada tanpa tujuan sama saja dengan akal tak berpengetahuan, hampa…

Apa, Kenapa, Bagaimana?
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dari namanya saja, orang akan bisa melihat bahwa HMI ini berstatus sebagai organisasi mahasiswa (vide Pasal 7 AD HMI). Sebelum kita lebih jauh mengupas tentang organisasi ini, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui apa itu mahasiswa? Dengan melihat studi di Perguruan Tinggi paska melewati masa sekolahnya di SMU/sederajat, mahasiswa bisa disebut sebagai orang muda yang secara kejiwaan mengalami fase yang senantiasa berbuat guna menemukan jati dirinya. Orang muda selalu dicirikan dengan semangat yang mengebu-gebu, selalu berpikir ke depan dan normatif, apa yang seharusnya, apa yang sepatutnya, atau sering kita sebut dengan idealisme, selalu memandang sesuatu secara ideal. Pendapat ini bisa jadi benar, jika membandingkannya dengan orang tua, yang memang harus berpikir senyatanya, bagaimana menghadapi tantangan hidup, persoalan pekerjaan, makan, kesejahteraan dst. lebih suka memandang kebelakang, mengingat-ingat romantisme dulu, hingga ungkapan.”muda idealis, tua pragmatis” barangkali benar.

            Mahasiswa, juga sering diberi predikat atau memainkan peran sebagai inti kekuatan perubahan, garda terdepan pembaharuan, benteng moral bangsa, sosial kontrol antara lain karena dua alasan pertama, karena mahasiswa memiliki ilmu pengetahuan yang lebih dibandingkan kawan-kawannya yang tidak mengecap pendidikan tinggi. Dimana ciri-cirinya mahasiswa relatif memiliki otonomi yang tinggi, tidak bergantung pada pihak manapun, kritis, kelompok yang bebas dari kelompok kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran.. Berikutnya karena berpendidikan tinggi maka secara politis mahasiswa telah mengalami sosialisasi politik yang lebih tinggi, di kampusnya mereka mengalami akulturasi mengingat heterogenitas penghuni kampus, sehingga mahasiswa dalam mengemban fungsi generasinya sebagai kaum muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan masa yang akan datang. Kondisi tersebut memungkinkan transformasi dalam tataran nilai pada mahasiswa. Kedua, adalah legitimasi atas fungsi dan peran yang dimainkan sepanjang panggung sejarah dengan tema besar “dinamika gerakan mahasiswa”.

Percaya tidak percaya, dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, peran kaum muda khususnya mahasiswa tidak dapat dipandang kecil, inilah mungkin yang menjadi “semacam beban” bagi gererasi mahasiswa dalam continuum waktu berikutnya, hingga berbagai macam predikat itu menjadi sebuah kewajiban. Katakanlah kebangkitan Nasional 1908 dan Sumpah Pemuda 1928, dimana mahasiswa pada saat itu dipandang sebagai pelopor dan pemersatu bangsa. kemudian di masa Revolusi Kemerdekaan, mahasiswa dipandang sebagai pendobrak penjajahan dan pembela kemerdekaan Republik. Sebagai satu catatan saja, HMI pada masa itu menjadi salah satu—kalau tidak etis mengatakan, satu-satunya—inisiator pembentukan Perhimpunan Persyarikatan Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan turut berjuang senjata pula dalam corps/compy mahasiswa, pada masa paska kemerdekaan identitas dan peran politik mahasiswa semakin diperkuat oleh keberhasilan protes-protes mahasiswa tahun 1966 yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang berhasil dengan sukses menumbangkan Orde Lama, dimana sekali lagi HMI menjadi salah satu inisiatornya.

Namun dalam perjalanannya, dinamika gerakan mahasiswa menghadapi persoalan internal paska ’66 dikarenakan, mahasiswa adalah termasuk elemen pembentuk Orde Baru, selain ABRI (sekarang TNI) dan teknokrat. Tampak terjadi kebuntuan, apa alternatif bangunan gerakan yang ditawarkan, tatkala gerakan ’66 telah menjadi mitos? Peran apa yang ingin dimainkan dalam system politik Orba? Bagaimana seharusnya tugas dan masa depan eksponen ’66? Pertanyaan-pertanyaan itu memang akan terlihat sangat susah sebab mahasiswa adalah termasuk dalam salah satu grand design elit yang menang

Baru pada awal ‘70-an mahasiswa menemukan perannya yang sesuai dengan predikat intelektual, yakni sebagai kekuatan moral (moral force). Artinya, mahasiswa bukan sebagai kelompok elit politik yang berusaha mendapatkan kekuasaan, melainkan sebagai kekuatan moral yang secara aktif ikut berperan dalam mencapai cita-cita negara. Tugas utama dalam konsep ini adalah melakukan kritik terhadap keadaan sosial politik yang tidak benar. Dengan demikian mahasiswa tidak cuma keluar dari aliansi segitiga, tetapi juga mau tidak mau harus berhadapan dengan rezim Orde Baru yang terdiri atas militer dan teknokrat (cikal bakal, Golkar). Dalam menghadapi kritik tersebut, rezim bisa bertindak akomodatif bisa pula bersikap keras. Peristiwa Malari 1974 (Malapetaka 15 Januari 1974) secara nyata menunjukkan kalau rezim tidak segan-segan bertindak keras terhadap mahasiswa dimana pemimpin-pemimpin mahasiswa dijebloskan dalam penjara dan organisasinya dibubarkan.

            Tahun berikutnya, kita bisa mencatat naik turunnya dinamika itu katakanlah tahun 1978 yang menunjukkan bahwa kekuatan Negara, Orba semakin dominan dan sebaliknya kekuatan masyarakat melemah, protes menolak Soeharto tidak berarti apa-apa, malah sebaliknya, negara semakin menjadi-jadi dengan mengeluarkan paket kebijakan NKK/BKK, Daoed Joesoef, Wawasan Almamater, Nugroho Notosusanto yang kesemuanya berupaya mematikan aktifitas politik mahasiswa dan menjadikan mahasiswa hanya sebagai manusia penganalisa (man of analisys) dan pekerja otak (knowledge worker) yang dipersiapkan untuk memasuki teknostruktur.

Sabar, sabar, sabar dan tunggu, itu jawaban yang kami terima;
ternyata kita harus ke jalan, robohkan setan yang berdiri mengangkang…
(Bongkar, Iwan Fals)

Ketatnya kebijakan itu otomatis, menjadikan kampus di tahun 80-an adem ayem, mahasiswa banyak melarikan aktifitas politiknya pada diskusi dan kontemplasi di luar kampus. Yang kemudian mempolarisasikan gerakan mahasiswa pada dua bentuk yakni, kelompok studi dan LSM mahasiswa. Dua bentuk ini tidak pernah ketemu dalam prakteknya, satu menganggap yang lain hanya beronani wacana dan satu menganggap yang lain pragmatis, tanpa menyadari bahwa aksi akan semakin kuat jika dibarengi refleksi, dan diskusi akan sangat praksis bila disertai aksi, sebagaimana Lenin bilang, “mustahil terjadi revolusi tanpa teori revolusi”. 

            Setelah mendapat kritik keras akan bentuk gerakan yang sama-sama ekslusif itu, mahasiswa, berkeyakinan untuk kembali ke kampus, karena memang disanalah basis gerakan itu ada. ’87 sampai akhir ’89, protes kembali menyeruak ke permukaan dengan isu yang beragam sesuai dengan perubahan politik yang ada saaat itu. Dapat dicatat antara lain isu-isu itu mengangkat;: pertama, isu tentang masalah intern kampus seperti penolakan dekan/rektor, kenaikan SPP, mutu pendidikan dll (1987); kedua, isu tentang depolitisasi kampus seperti pelaksanaan NKK/BKK, kebebasan mimbar, kebebasan akademik, otonomi kampus (1988); ketiga, isu lokal yang berupa ekses pembangunan di daerah atau penyalahgunaan wewenang oleh pejabat di daerah seperti kasus tanah Badega, Cimacan, Kacapiring, Kedung Ombo dan penggalian pasir di Mojokerto (1989); keempat, isu nasional yang bersifat membela atau memperjuangkan kepentingan rakyat banyak seperti kenaikan tarif listrik dan peredaran  kupon KSOB/TSSB, kelima, isu yang bersifat merespon terhadap tindak kekerasan aparat pemerintah, seperti anti kekerasan.

            1990 menjadi pertanda berakhirnya masa NKK/BKK, dengan keluarnya kebijakan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), namun kampus terpolarisasi antara yang menerima dan menolak, yang menolak berpandangan SMPT, tidak populis, SMPT dijadikan ajang permainan elit mahasiswa, SMPT dianggap tidak lebih sebagai upaya kooptasi birokrat kampus dan perpanjangan NKK/BKK yang berubah bentuk. Sedang yang menerima berpandangan adanya celah yang dapat digunakan mahasiswa yakni petunjuk teknis pelaksanaan keputusan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi. Dengan modal ini, aturan main SMPT ditentukan oleh institusi perguruan tinggi masing-masing. Tetapi yang jelas keberadaan SMPT, tidak lebih hanya memberikan prestise, “kesejahtera-mudahan” pengurus, dan “kekuasaan” eksistensi kelembagaan.

            Sampai akhirnya, situasi politik dan ekonomi yang tidak menentu di 1997 dapat menyatukan kembali gerakan mahasiswa, dengan bungkus Reformasi, 32 tahun rezim Soeharto dapat dilengserkan. ‘98, dinamika gerakan mahasiswa mencapai titik gemilang berikutnya. Seperti sebuah rangkaian episode yang teratur, mahasiswa paska ’98 dipaksa keras untuk menjaga berjalannya proses reformasi. Sebagaimana air laut, dinamika gerakan mahasiswa mengalami pasang surut sampai hari ini…

selanjutnya di Bagian 2.

related post



0 komentar:

Posting Komentar

sebenernya sih enggan, karena takut juga dengernya, tapi gimana lagi ntar dibilang melanggar HAM, ga' ngasih tempat buat protes, dah nulis ga' tanggung jawab.. okelah konstruktif, dekonstrukstif maupun dekstruktif sekali pun aku siap dengarnya.
thanks for comment..