Periode 2003-2004 sebuah Gambaran Singkat
Kenyataan bahwa sejarah terus ditulis orang, di semua peradaban
dan sepanjang waktu, sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu
(Prof.Dr. Kuntowijoyo)1
MUKADDIMAH
Tujuan yang termuat dalam Term of Reference2 Lokakarya Perkaderan (selanjutnya disingkat, LP) HMI Cabang Malang Komisariat Hukum UMM (selanjutnya disebut HMI Hukum) yang merupakan amanat Rapat Anggota Komisariat (RAK) XII3 di Cangar, Batu, memiliki beberapa maksud yang antara lain pertama, bahwa LP mencoba menapaki jejak-jejak yang tertinggal di HMI Hukum di tiap masanya, ini penting karena beberapa alasan diantaranya karena minimnya sejarah tulisan (historiografi) dalam HMI Hukum, sedangkan selama ini hanya merujuk pada sejarah lisan,—yang hari ini mulai susah untuk diketahui disebabkan beberapa pelaku sejarah sudah tidak lagi berada di Malang—kemudian tidak terlacaknya draft-draft hasil RAK tiap periode4 padahal kita sadari bersama bahwa sejarah adalah sesuatu yang sangat berharga, sejarah adalah literatur yang tak tergantikan, karena sejarahlah yang akan mengikat kita dalam sebuah desain perkaderan HMI Hukum, bukankah karena sejarah pula kita terbentuk walaupun aliran posmodernis coba mendekonstruksi itu, mereka menuntut para sejarawan untuk mengakui bahwa bahasa (sejarah tulisan) bukan sekedar alat untuk menyatakan pikiran atau menyimpan ingatan tetapi memiliki kemungkinan menciptakan realitas, tetapi tentu kita juga harus menolak dekonstruksi ini sebagaimana Taufik Abdullah berpendapat; “tanpa keyakinan bahwa kebenaran empirik dan historis adalah sesuatu yang bisa didapatkan, kita hanya akan menggerayang dalam kegelapan”.5
Kedua, LP adalah sebuah jawaban dari pertanyaan zaman; dari mana kita mulai dan apa yang akan kita lakukan. Bahwa LP adalah titik min satu kesadaran HMI Hukum akan kondisi HMI yang semakin terpuruk, dimana Bang Agus—panggilan akrab kakanda Prof. Dr. H. Agus Salim Sitompul, sejarawan HMI—misalnya mencatat ada 40 indikator memudarnya gerak dan reputasi HMI6 yang diantaranya adalah; pola perkaderan HMI yang dirancang pertengahan abad 21 tidak sesuai lagi untuk memenuhi tuntutan zaman; kurangnya pengetahuan, pemahaman, penghayatan, pengamalan agama Islam, khasanah ke-HMI-an dan keorganisasian; lemahnya manajemen organisasi, kurang berfungsinya lembaga-lembaga di HMI dan follow up perkaderan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya; memudarnya tradisi intelektual; HMI juga tidak punya gagasan, karya yang layak diketengahkan sebagai kontribusi untuk memecahkan persoalan kemasyarakatan dan masih banyak lagi lainnya. Dengan begitu LP diharapkan dapat melahirkan out put pola perkaderan yang menzaman yang memang berangkat dan sesuai dengan kearifan kultur yang ada, dimana kontinuitas gelombang perkaderan HMI Hukum tiap periode berjalan terarah dalam sebuah desain besar perkaderan menuju tujuan HMI, dengan kata lain diharapkan tidak lagi terjadi keterputusan visi komisariat atau benturan perkaderan.
PADA MULANYA, MAAFKANLAH IDE ITU..
Adapun visi yang dibawa pada satu periode kepengurusan adalah “Mencoba untuk Menjadi, Membangun Kembali HMI”, ini berangkat dari analisis kondisi HMI secara umum dan HMI Hukum khususnya, dimana penulis melihat HMI sudah melenceng dari khittah-nya, katakanlah aktifitas yang dilakukan kepengurusan itu hanya coba mengulang dan meniru keberhasilan aktifitas sebelumnya, jarang sekali—kalau tidak boleh dibilang tidak pernah—mengarahkan dan mengupayakan pada terwujudnya tujuan HMI. HMI lepas dari ide dasar dan latar belakang berdirinya sebagaimana jelas tercatat dalam sejarah. Katakanlah kondisi mahasiswa, dengan banyaknya organisasi mahasiswa hari ini malah menampakkan kondisi yang sangat kontra produktif, sebagaimana kondisi “pra HMI” ditahun 1946-an dulu, cenderung hura-hura, apatis, pemuja spontanitas, dan krisis spiritualitas, penulis menyebutnya “PMY-PMY yang tidak terlembaga”, pun tidak berbeda dengan kondisi ke-Islam-an dan masyarakat.7 Kedua, pertanyaan yang kemudian menggelitik adalah persoalan gerak yang selalu tampak mandek, ada apa dengan kita? Bahwa waktu kepengurusan hanya dihabiskan dalam rangka “konsolidasi kepengurusan” yang kemudian menandakan bahwa dalam ranah keorganisasian ada sesuatu yang belum selesai di kita yang kemudian kita sebut sebagai “problem kedirian” baik anggota, pengurus, kader maupun organisasi, maka agenda penuntasan problem kedirian adalah hal yang tak bisa ditawar, bukankah akan muspro bicara sosial/organisasional bila problem personal/internal belum selesai?. Ketiga, pada refungsionalisasi dan revitalisasi peran struktur (bidang-bidang), HMI Hukum sebagai bagian yang tak terpisahkan dari HMI memiliki kompetensi yang dalam konstitusi pun diatur secara jelas ruang lingkupnya yakni Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan yang kemudian jadi fokus dan basis aktifitas.
Pada semester kedua, prioritas kepengurusan diarahkan pada superioritas lembaga, bahwa problem aparatur atau kesadaran pengurus yang berbasis organisasi sangat minim bahkan pemahaman pengurus tentang khasanah organisasi atau ke-HMI-an sangat-sangat mengenaskan.[1]
Dengan begitu pada periode kepengurusan ini dengan terpaksa harus “memutus” pertama, visi kepengurusan sebelumnya yakni Mempertegas Komitemen Kerakyatan, yang berisi; (1) reorientasi, redefinisi dan reaktualisasi nilai ajaran Islam. Dengan arah-keinginan ajaran Islam menjadirealistik terhadap fenomena kerakyatan, (2) membangun kembali wacana intelektual sebagaimana jargon HMI Cabang Malang dalam tri komitmennya. Dua hal yang ditegaskan yakni; produk kader tertinggi yang diharapkan adalah seorang cendikiawanyang dalam hal ini berbentuk profesi dan proses perkaderan menginginkan kader-kader yang mampu berusaha keras melihat, menterjemahkan dan menganalisa realita dengan argumen-argumen yang ilmiah, (3) desentralisasi program kerja organisasi. Bahwa adalah kebutuhan yang sangat mendesak untuk merespon konsep otonomi daerah, (4) perlunya penataan dan pembenahan manajemen organisasi dengan kepemimpinan model dan bertumpu pada kolektif kolegial.[2] Kedua, kebijakan bersama HMI Korkom UMM dan 9 Komisariat di dalamnya pada tahun 2002 untuk tidak mengambil lembaga intra (Senat dan Badan Eksekutif Mahasiswa) yang nanti akan merubah sama sekali pola perkaderan yang ada sebelumnya.
Make a history! Buatlah sejarah! Jangan salah not a his story, bukan sejarahku, sejarahnya, bukan sejarah siapa tapi sejarah kita semua, sejarah HMI Hukum. (AZ Nokthah)[3]
TAK ADA SESUATU YANG LEBIH BERHARGA DARI PADA KEBEBASAN
Pepatah arab yang seterusnya berbunyi …dan tak ada kebahagiaan yang lebih agung dari pada menunaikan kewajiban,[4] ini mungkin menjadi inspirasi dan spirit kami dalam membangun iklim perkaderan di periode ini, dimana kebebasan ini kami maknai sebagaimana dimaknai oleh George Bernard Shaw yang mengatakan “kebebasan berarti tanggung jawab itulah sebabnya, mengapa kebanyakan orang takut padanya”. Mencoba untuk konsisten dengan apa yang ditawarkan HMI Hukum pada saat perekrutan, kemerdekaan, kebebasan… namun sangat disayangkan dalam perjalanannya kemudian kebebasan ini tampak disalah-maknai yang kemudian lebih kepada semboyan yang terkenal di abad 19, Laissez fair laissez fassez, biarkanlah semua berjalan apa adanya secara bebas.
Masalah yang lahir dari iklim ini kemudian antara lain, terancamnya independensi organisasi di samping memang pemaknaan dan pemahaman terhadap independensi etis dan organisatoris selama ini[5] belum lagi benar, seringkali terjadi pemisahan baik oleh pengurus maupun anggota pada keduanya. Pada periode ini misalnya Mei 2004 terjadi disharmonisasi antara Komisariat dan pengurus departemen yang aktif di LSO Judicial Watch FH UMM yang merasa di intervensi dalam geraknya.[6] Contoh lain atas nama ruang kebebasan, anggota angkatan 2003 coba melakukan sebuah gerakan yang berada di luar setting komisariat di momen Pemilu Raya Mahasiswa Fakultas Hukum UMM, yang mengancam kebijakan dan gerakan yang coba dibangun HMI Hukum,
Upaya untuk mengejawantahkan kebijakan umum, dilakukan dengan mencoba menciptakan iklim dan kondisi yang islami di komisariat, antara lain dengan sholat magrib bersama dan membudayakan kultum (kuliah tujuh menit) secara bergantian, dan kadang—sebenarnya diupayakan rutin—ngaji bersama.[7] Menggagas kultur “Diskusi Transformasi” diskusi yang dikemas santai yang dimulai dari “pressure” kepada pengurus dan anggota untuk membaca buku dan kemudian menguji hasil (mentransformasikan) bacaan tersebut dalam satu forum.[8] Sedang pada kebutuhan akademik sangat disayangkan hanya lahir pada momen-momen tertentu seperti akan UTS, UAS maupun Tugas-tugas kuliah.[9] Sedang upaya mengairahkan lagi peran perempuan terpaksa harus dimulai dari nol lagi[10] Warna proses perkaderan pada periode ini—dalam hal ini adalah aktifitas organisasi—memang lebih banyak kultural-informal—yang sebenarnya pengurus harapkan merupakan tahap awal menuju organisasi yang formal-struktural karena HMI adalah organisasi yang sangat tertib (birokratis) tetapi tentu saja HMI hukum belum lagi bisa kesana.[11]
POLA REKRUITMEN
Sebelumnya tentu berbicara tentang kriteria calon anggota dan ini tentu tidak akan jauh berbeda dengan periode-periode sebelumnya yang berupaya agar mahasiswa yang akan menjadi anggota HMI semaksimal mungkin memenuhi syarat sebagaimana Pedoman Perkaderan HMI mengaturnya seperti antara lain bahwa calon anggota ini adalah mahasiswa berprestasi, mahasiswa cenderung “berbeda” dari teman sekelasnya, katakanlah mahasiswa yang aktif di ruang perkuliahan, juga mahasiswa yang semasa sekolah aktif dalam berorganisasi; namun tentu saja dalam sejarah perjalanannya, kriteria ideal tersebut susah untuk didapatkan secara komulatif. Cara-cara yang ditempuh dalam kepengurusan kami antara lain:
1. Maping Potensi, melalui kepanitiaan dalam Pesmaba (Penerimaan Mahasiswa Baru) FH UMM, baik dari screening (dengan materi: ke-Islaman, ke-organisasian, wawasan umum, bahasa inggris dan minat bakat) yang diikuti oleh para maba dan proses selama kegiatan pesmaba seperti; bahwa maba ini vokal, berani bertanggungjawab, dari segi wawasan lebih dari teman-temannya, pengalaman berorganisasi sebelumnya dan basic akademiknya SMU/MAN/Pesantren yang memiliki grade point yang berbeda dan masih banyak lagi ukuran lainnya.
2. Membuka selebar-lebarnya pintu, ini berangkat dari bacaan terhadap kondisi kemahasiswaan yang semakin hari, antusiasme untuk berorganisasi semakin menurun. Di samping pula kami memandang bahwa Latihan Kader I (basic training) sebagai syarat menjadi anggota HMI adalah syarat administrative yang tidak akan mungkin menjadikan pesertanya itu dalam 4 hari sebagai seorang cendekiawan, ulama, filsuf atau apa. Tujuan LK I hanyalah merubah pandangan secara paradigmatik yang jelas menuntut follow up dalam proses perkaderan (pembentukannya atau proses produksi). Dengan membuka pintu selebar-lebarnya ini, kami mengambil sebuah resiko dimana orientasi yang bermacam-macam ini tidak menjadi penghalang, katakanlah ada mahasiswa yang ingin masuk HMI karena ingin menjadi ketua lembaga intra, atau hanya ingin cari teman, pacar dan bahkan untuk menghancurkan HMI sekalipun, monggo...[12]
Pada saat pendaftaran LK I kami membuat sebuah screening (dengan materi ke-Islaman, ke-HMI-an, wawasan hukum) dengan tujuan lebih kepada melihat orientasi calon anggota, yang pada selanjutnya akan dipantau pada LK yang evaluatif dan follow up-nya, tercatat beberapa orientasi anggota saat screening antara lain:
- ingin tau seperti apa itu HMI,
- ingin tau menambah wawasan ke-Islaman,
- ingin menambah pengalaman,
- ingin cari teman,
- ingin bisa vokal bicara
- rekomendasi saudara, teman dan lain-lain,
yang hampir bisa dibuat rata-rata bahwa orientasi itu muncul karena banyak yang tidak mengetahui sebelumnya apa itu HMI![13]
Sedang pada strategi rekruitmen kami menggunakan:
a. Membagikan selebaran-selebaran moral, sebagai satu bentuk pengenalan HMI pertama kali yang kemudian di massif-kan pada saat pengenalan Omek (organisasi mahasiswa ekstra) ketika Pesmaba,
b. Personal approach[14] dengan penegasaan bahwa hanya kepada mereka yang menjadi Target Organisasi (TO) dan jangan pernah membawa nama HMI di dalamnya, artinya biar maba melihat sendiri bahwa senior yang mengajaknya bicara, diskusi adalah dari HMI,
c. Maperca (masa perkenalan calon anggota) komisariat sebagai bentuk mengenalkan HMI secara formal kepada maba, yakni bentuk activity approach sebagai tindak lanjut personal approach,
d. Meminjam bahasanya Chuky dalam Film horror itu “cara klasik memang tak pernah ketinggalan zaman” mungkin bisa kita sebut begitu, jika melihat strategi menawarkan penginapan gratis selama pesmaba (dan kadang seterusnya),
e. Rekruitmen terbalik,[15] artinya membuat pelatihan-pelatihan di lembaga intra (LSO) terlebih dahulu yang kemudian pesertanya ditarik (secara mentalitas) untuk mengikuti LK I (basic training).
KEBIJAKAN DAN IMPLIKASINYA DALAM PERKADERAN
Dengan harapan untuk tidak mengulangi hal yang kemudian selalu mendatangkan persoalan dibelakang, dalam periode ini ada beberapa kebijakan yang diambil—tetapi ya namanya juga kebijakan tetap saja akan ada implikasinya—yang cukup berpengaruh dalam proses perkaderan, sebagai berikut:
1. Anggota dengan masa satu tahun (khususnya angkatan 2002) tidak diperbolehkan masuk ke dalam lembaga intra (BEM-SEFA)[16] dengan pertimbangan kematangan berorganisasi dan internalisasi teman-teman dirasa belum cukup, bukankah pengalaman menunjukkan 2 institusi lembaga intra tersebut hanya akan menciptakan pekerja-pekerja (kecuali leader-nya)? disamping itu komisariat jelas membutuhkan tenaga, karena teman-teman itu adalah calon pengurus (departemen) dan kita memandang bahwa lembaga intra adalah sarana pengabdian[17] yang merupakan tahap seorang kader beraktualisasi. Adapun implikasinya adalah kekecewaan dari banyak anggota (angkatan 2002) yang ber”hasrat” ke lembaga intra (BEM khususnya) yang terwujud dalam (1) Tidak mau menjadi pengurus komisariat, (2) kalaupun mau, banyak yang kemudian tidak aktif diperjalanan kepengurusan. Rekomendasi: RAK jangan dilaksanakan berbarengan dengan Pemilu Raya,[18] karena akan menyusahkan pembentukan struktur kepengurusan (baik komisariat maupun BEM)
2. Untuk menerjemahkan GBPK RAK XI tentang menggagas new social movement, serta menindaklanjuti kebijakan PB HMI tentang back to campus serta menjaga arah lembaga intra FH UMM pada periode ini lahir “Kebijakan Eksternal, Back to Campus” yang kemudian menjadi “Landasan Gerak” dan melahirkan beberapa “platform perubahan kampus” yang mengarahkan lembaga intra sebagai gerakan counter culture dan menata sistem kelembagaan intra guna membangun kekuatan lembaga intra.[19] Implikasinya lembaga intra lumayan terjaga pada perjalanannya.
3. Kebijakan menempatkan BEM-SEFA[20] sebagai “bidang bayangan” di komisariat dan Lembaga Semi Otonom (LSO)[21] sebagai “semacam” lembaga kekaryaan bidang-bidang komisariat. Yang tergambar dalam bagan berikut:
Pelaksanaan kebijakan ini berupa: (1) Leader BEM-SEFA wajib ikut Rapat Presidium setiap minggunya. ini diharapkan agar anggota yang menjadi pengurus BEM-SEFA juga mengetahui dinamika proses perkaderan di komisariat (kasarnya, tidak melupakan komisariat); (2) diadakan “Konsolidasi Antar Lini” seminggu satu kali, yang merupakan pertemuan antara komisariat dan lembaga intra (BEM, SEFA, LSO) dan juga media pengambilan kebijakan bersama. (3) sebagai tanggungjawab wilayah koordinasinya, bidang juga ikut memikirkan pengembangan LSO, karena kebiasaan “buruk rupa cermin dibelah” lama kita, bila memegang BEM-SEFA adalah mati dengan suksesnya LSO.
Dari kebijakan ini memang tidak terjadi disharmonisasi komisariat dengan BEM-SEFA, namun tetap terjadi juga disharmonisasi yaitu dengan LSO Judicial Watch[22] yang dimotori¨pengurusnya.[23] Walaupun telah diselesaikan pada Rapat Harian tanggal 26 Mei 2004[24] dimana keputusan Rapat Harian antara lain memenuhi tuntutan dan LSO Judicial watch tidak lagi berada dibawah komisariat. Tetapi implikasinya selanjutnya adalah anggota HMI yang ada dalam LSO ini sebagian besar tidak aktif lagi dalam HMI, bahkan parahnya RAK XII HMI Hukum pada tanggal 16-18 Juli 2004 bertempat di cangar, Batu dibarengi waktunya oleh Rapat Anggota Tahunan (RAT) LSO Judicial Watch bertempat di Villa Songgoriti yang kemudian membuat sebuah kondisi membingungkan dan sulit bagi anggota HMI yang aktif di LSO ini, yakni memilih ikut RAK atau RAT? dan tentu saja Bisa ditebak, terpecah jadi dua!
4. Reshuffle kepengurusan juga melahirkan beberapa problem pada jalannya proses perkaderan, seperti hancurnya kembali bangunan HMI Wati, sehingga proses konsolidasi Bidang UPP kembali diulang dari nol. Kebingungan dalam stok kepengurusan, maksudnya, penerimaan pengurus departemen pada temannya yang kemudian naik menjadi presidium masih sangat susah. Namun reshuffle tidak melulu melahirkan implikasi jelek karena pada periode ini reshuffle menjadi obat bagi kemandekan yang menyelimuti organisasi.
Itu mungkin beberapa kebijakan yang ada di periode ini walaupun ada beberapa kebijakan lainnya yang masih ingin kami uraikan lebih lanjut disini namun, karena keterbatasan penulis mungkin lain kesempatan bisa dilanjutkan.
PELUANG YANG BISA DIAMBIL?
Bahwa kondisi mahasiswa yang kurang lagi tertarik terhadap organisasi mahasiswa dan lebih memilih dunia hura-hura, hedonisme adalah realitas yang harus diterima. Dan bila ini terus dibiarkan—meminjam bahasa Wahib—kita harus siap berpisah dengan ruh kita sendiri, HMI. Maka perlu kiranya HMI khususnya HMI Hukum mencari peluang yang bisa diambil untuk mempertahankan diri yang antara lain:
1. HMI harus mampu menggagas gerakan sosial baru (new social movement) yakni menjadi organisasi yang mencerahkan kaum hedonis, HMI harus mencetak misionaris-misionaris yang mampu bergerak dan masuk dalam dunia hedonisme. Kalau ada yang mengatakan bahwa hedonisme adalah sesuatu yang harus dijauhi HMI, maka penulis akan bilang itu ahistoris!
2. Hedonisme, cepat atau lambat jelas melahirkan keterasingan bagi mahasiswa (penganutnya), krisis spiritualitas pasti akan mewabah. HMI selaku organisasi berbasis Islam harus mampu menawarkan pelepas dahaga itu, jangan takut tidak bisa bersaing dengan organisasi Islam lainnya seperti KAMMI—lihat keterasingan itu dengan ramenya mahasiswa untuk bergabung dengan organisasi ini—karena HMI memiliki warna Islam sendiri dengan “pasar”nya sendiri, maka pertahankan itu!
3. khusus HMI Hukum. Dunia (realitas) hukum hari ini yang tampak membingungkan, teret jungkir balik teret jungkir balik, belajar ketertiban melihat ketidaktertiban, permainan kotor, sikut sana, perkosa kebenaran dan lain-lain juga akan menimbulkan satu keterasingan bagi mahasiswa (hukum), satu kegelisahan yang akan melahirkan pergulatan pemikiran, apakah akan menerima atau menolak realitas tersebut? HMI Hukum harus mampu memberi alternatif pikiran yang lain, yang mungkin lebih menyejukkan suasana batin. Ya hukum yang lain…
4. Kejayaan IQ sebagai standart kecerdasan telah runtuh! Bahwa tidak cukup intelektualitas untuk menjadi cerdas tetapi juga menjadi penting pengelolaan emosinalitas, pengayaan spiritualitas. Babakan baru telah lahir, ESQ memberi warna baru kehidupan. Dan ESQ tidak akan mahasiswa dapat di bangku kuliahnya (apalagi fakultas hukum), HMI mampu memberikan itu, maka kelola dengan baik!
5. Desain Perkaderan adalah sebuah keharusan!, HMI Hukum dengan Lokakarya Perkaderan-nya mungkin telah melakukan pekerjaan perintis (pioneering work) bagi komisariat-komisariat lainnya. Fakta perkaderanlah yang seharusnya menjadi fokus kajian atau yang menjadi pokok persoalan dalam penyelidikan-penyelidikan guna mengembangkan organisasi. Fakta perkaderan adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dengan ide, yang sama sekali berada di luar perasaan, suasana psikologis serta pikiran anggota. Fakta perkaderan lebih bersifat obyektif dan eksternal dalam arti berada di luar individu dan bersifat koersif dalam arti memiliki kekuatan menekan yang menjadikan anggota tidak bisa berbuat lain selain memilih sikap adaptif dan konformistik. Fakta perkaderan juga merupakan kekuatan yang menyebar di tengah anggota sehingga ia merupakan milik bersama, tumbuh berkembang dan dijadikan pegangan prilaku masing-masing anggota yang memiliki kewajiban memenuhi tuntutan yang diajukan padanya.[25]
Dalam Desain Perkaderan, permasalahan militansi dan loyalitas—yang semakin menurun, hilang—HMI juga menjadi fokus utama, karena anggota HMI yang semakin sedikit, diperparah dengan militansi dan loyalitas yang lemah hanyalah akan menjadi bom waktu bunuh diri HMI. Maka penanaman loyalitas dan militansi dapat dilakukan dengan proses doktrinasi ideologi—yang di HMI sekarang pun mulai menjadi hal yang tidak menarik—yang bisa berupa (1) memberikan keyakinan dan kemantapan, (2) Menentukan siapa kawan dan siapa lawan, (3) Menjelaskan kepercayaan yang bertentangan dengan Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI adalah sesuatu yang berbahaya, (4) mempropagandakan dan menularkan virus-virus kecemasan kepada penganutnya (mempertebal rasa terancam dan permusuhan).
Selain itu desain perkaderan pun dapat dilakukan dengan psikologi organisasi, bagaimana membuat perubahan perilaku anggota (termasuk di dalamnya pengurus) yakni dengan mengikatkan diri dalam sebuah kontrak yang dibuat HMI dan anggotanya yang akan melahirkan reward and punishment mechanism.
KHATIMAH
HMI Hukum harus mampu menghentikan kondisi yang larut dalam ide, ide dan ide. Bahwa pragmatisme perkaderan adalah hal yang tidak bisa dipandang sebelah mata dan bila HMI terus seperti ini maka semua akan lari, ya apa yang kita bahas berjam, berhari, berminggu, bertahun sampai hari ini hanya menjadi sebuah rencana dalam bak sampah. Mental kerupuk tempe pakai formalin harus segera disudahi, Revolusi mental jawabnya, bukankah hukum perubahan mengatakan bahwa:
- Perubahan pikir akan merubah sikap,
- Perubahan sikap akan merubah aksi (tindak),
- Perubahan aksi akan merubah kebiasaan,
- Perubahan kebiasaan akan merubah karakter dan
- Perubahan karakter akan merubah nasib, merubah nasib Himpunan!
Kiranya dapat menjadi renungan bagi kita bahwa refleksi ini merupakan agenda besar menuju sebuah kemenangan, kemenangan bangunan perkaderan HMI Hukum. Akhirnya, semoga apa yang kita gagas serta hasilkan dalam lokakarya perkaderan ini Allah Subhanahu Wata’ala berkenan meridhoi-Nya. Amien
Billahittaufq wal Hidayah
1 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Cet. Ke IV (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001) hal. 20
2 Adapun tujuan itu adalah (1) Membentuk character building perkaderan HMI Hukum, (2) Membentuk format Perkaderan HMI Hukum, (3) Mengidentifikasi sejarah perkaderan HMI Hukum dari periode ke periode, dan (4) Menjalin silaturrahmi antara anggota dan alumni HMI Hukum
3 Lihat Hasil-Hasil Rapat Anggota Komisariat (RAK) XII HMI Cabang Malang Komisariat Hukum UMM dalam Ketetapan Nomor : 06/RAK-XII/05/1425 Tentang Pengesahan Garis-garis Besar Program Kerja (GBPK) HMI Cabang Malang Komisariat Hukum UMM Periode 1425-1426 H/2004-2005 M yang termuat dalam Memorandum GBPK poin 3. Melaksanakan Lokakarya Perkaderan! & poin 6. Menggali Sejarah HMI Hukum!
4 Yang terselamatkan sebagai dokumentasi dan inventaris organisasi hanya Draft RAK IX periode 2000-2001 dengan Ketua Umum Sdr. Alfian Rohman Rosyid, Draft RAK X periode 2001-2002 dengan Ketua Umum Sdr. Iwan Kurniawan, RAK Draft XI periode 2002-2003 dengan Ketua Umum Sdr. Ikhwan Fakhrojih dan Draft RAK XII periode 2003-2004 dengan Ketua Umum Sdr. Arief Zein Nokthah.
5 Asvi Marwan Adam dan Bambang Purwanto, Menggugat Historiografi Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2005) hal.126
6 Agus Salim Sitompul, Rekonstruksi Semangat Idealisme Perjuangan HMI, makalah Latihan Kader II (intermediate training) Tingkat Nasional HMI Cabang Yogyakarta tanggal 6-14 September 2004
7 Arief Zein Nokthah, Kembali ke Khittah, Kembali Ber-HMI!, Kebijakan Umum Ketua Umum HMI Cabang Malang Komisariat Hukum UMM, yang disampaikan pada Rapat Kerja I, tanggal 24 Agustus 2003 bertempat di Sekretariat HMI Hukum, Perum. Bukit Cemara Tujuh Blok IV Kavling 47 Malang. Kebijakan umum memproyeksikan pada enam bulan pertama kepengurusan pada; (1) penyegaran kembali terhadap platform dan tata organisasi yang dimiliki HMI, (2) Perkaderan berjenjang di seluruh proses yang ada, (3) memaksimalkan komisariat sebagai tempat mendapatkan ilmu, dan (4) menempatkan cell cystem sebagai kekuatan perkaderan.
[1] Arief Zein Nokthah, Make a History!, Kebijakan Umum Jilid Dua Ketua Umum HMI Cabang Malang Komisariat Hukum UMM, yang disampaikan pada Rapat Kerja II, tanggal 6-7 Shafar 1425 H. bertepatan dengan tanggal 27-28 Maret 2004 bertempat di Coban Rondo, Batu.
[2] Lihat, Visi dan Misi HMI Komisariat Hukum UMM, Mempertegas Komitmen Kerakyatan : Sebuah Upaya meretas Reposisi Peran HMI Cabang Malang, tanpa tempat, tanggal dan tahun.
[3] Arief Zein Nokthah, Make a History!....
[4] La syay’a a-atsman-u min al-hurriyah, wala sa’adat-a-akbar-u min al-qiyam-I bi’l-wajib
[5] Penulis katakan selama ini, karena memang sepanjang sejarah perjalanan HMI Hukum tiap periode yang penulis ketahui selalu muncul masalah antara anggota dan organisasi, salah satunya katakanlah disharmonisasi Komisariat dengan kader yang ada di lembaga intra. Untuk masalah independensi ini penulis sudah mempunyai rencana untuk mengulasnya dalam bentuk tulisan.
[6] Lihat, Suara Kader Edisi: Keharusan Rvls/II/Jul-Bhib/2004, Manifesto Perjuangan Julkifli dan Habibie Cs, dengan 4 poin tuntutan yaitu: (1) menuntut digelarnya Rapat Harian dalam waktu 3x24 jam sejak tulisan ini diterima (23 Mei 2004), (2) penyelesaian konflik elit himpunan, (3) fungsionalisasi MPRAK, (4) menolak sentralisasi kekuasaan himpunan atas lembaga kemahasiswaan dan (5) kemandirian organisasi kemahasiswaan (lembaga intra).
[7] Lihat, Realisasi Program Kerja dalam Laporan Pertanggungjawaban Bidang Pembinaan, Penelitian dan Pengembangan Anggota. Draft RAK XII HMI Hukum, 28-30 Jumadil Awal 1425 H./16-18 Juli 2004 M.
[8] Lihat, Realisasi Program Kerja dalam Laporan Pertanggungjawaban Bidang Pembinaan, Penelitian dan Pengembangan Anggota dan Perguruan Tinggi, Kepemudaan dan Kemahasiswaan, Draft RAK XII…
[9] Keinginan menjenjangkan bangunan berpikir hukum ala HMI Hukum yakni hukum sebagai basis ilmu, hukum sebagai kenyataan dan filsafat hukum. bahwa diskusi misalnya merupakan kebutuhan bukan sebuah program kerja, berangkat dari keinginan diskusi yang mengangkat satu tema (tidak menghadirkan pemateri), kemudian menghadirkan teoritisi/akademisi dalam penguatan basis teori dan ketiga menghadirkan para praktisi untuk melihat pergulatan teori dan realitas di periode ini juga kandas dan gagal dengan sukses. Adanya fenomena ketidak-menarikan atas pengkajian—yang sebenarnya adalah kompetensi kita—hukum, dan bidang kekaryaan (lihat, evaluasi bidang kekaryaan RAK XI dan XII) kedepan kiranya perlu kemasan yang lebih menarik karena anggapan bahwa Hukum telah selesai didapat di bangku kuliah telah merasuk tanpa disadari oleh sebagian besar dari kita.§
[10] Krisis kader perempuan yang mobile telah dialami beberapa periode sebelumnya, sehingga dalam periode ini kami menempatkan perempuan sebagai supporting system, yang dimulai dari menumbuhkan solidaritas sesama perempuan. Di periode ini pun terjadi resuffle kepengurusan, dimana Kabid UPP mengundurkan diri, wasekum UPP cuti kuliah (kabar terakhir bahkan telah berhenti kuliah) yang jelas berimbas besar dalam konsolidasi HMI Wati.
[11] Juga merupakan turunan dari “Perkaderan Berjenjang” karena kami melihat tujuan HMI pun merupakan jenjang yang tak bisa diloncati dalam penerapannya, namun bentuk cultural-informal yang sangat dilakukan pun ternyata menjadi sebuah kelemahan (dan membawa iklim yang tidak baik) dalam kepengurusan karena tidak dibarengi dengan bentuk formal-struktural.
[12] Ini berlebihan memang, tetapi inilah kondisi yang harus dijawab, tetapi bukan kemudian orientasi itu adalah janji kami untuk memenuhinya ataupun kontra produktif dengan upaya kami di poin 1, tetapi lebih kepada menjawab tantangan HMI adalah pabrik, organisasi rekayasa orang. Proses pembentukannya atau sering kita sebut reorientasi ini kemudian menjadi tanggung jawab dari pengurus selaku pengelola organisasi. Pertanyaan sederhana yang harus dijawab hari ini oleh kita semua adalah “masihkah orientasi awal itu ada dalam benak kita?” dan kami yakin jawabnya adalah TIDAK! Ada perubahan itu hanya saja persoalannya adalah berangkat dari diri sendiri atau penetrasi ekternal (HMI)? dan cepat ataukah lambat?
[13] Pedoman Perkaderan malah menganjurkan perkenalan HMI sejak masa sekolah.
[14] Pendekatan personal ini sudah menjadi tradisi yang tiap tahunnya dalam sejarah HMI Hukum yang penulis ketahui, hanya saja kadang akan banyak mudarat-nya bila pendekatan ini disalah-gunakan, banyak kasus yang terjadi di HMI Hukum pada saat rekruitmen pendekatan ini digunakan sebagai pendekatan yang lain juga hingga jarang dapat calon anggota yang ada malah calon pacar.
[15] Strategi ini sangat-sangat mengambil resiko dan mempunyai ekses di belakang perjalanan nantinya, katakanlah seperti yang kami alami masalah loyalitas (rasa kepemilikan) terhadap komisariat yang terreduksi, rasa tdk dibesarkan komisariat dll. Warning: pendekatan ini tdk baik bagi kesehatan janin HMI
[16] Masuk kedalam lembaga intra juga adalah kebijakan yang diambil dengan mengingat bahwa banyak anggota paska menjadi pengurus komisariat (angkatan 2001) belum mempunyai wadah perkaderan selanjutnya, disamping juga untuk menjaga agar anggota tidak mengalami disorientasi. Pengalaman disharmonisasi komisariat dan lembaga intra yang mungkin akan dialami coba diantisipasi dengan kebijakan berikutnya. Lihat, poin. 2
[17] Tujuan HMI dalam AD Pasal 4, yang berbunyi; terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah subhanahu Wata’ala, menurut kami merupakan tahapan yang tak bisa diloncati, dimana insan akademis adalah tahap pemenuhan basic need, insan pencipata adalah tahap peningkatan kualitas, insan pengabdi adalah tahap aktualisasi dan bertanggungjawab atas… adalah tahap konsistensi perjuangan. Sedang pada angkatan 2002, kami membacanya masih pada tahap pemenuhan basic need dan mau masuk tahap peningkatan kualitas, dan proses pembentukan itu kami pikir hanya berada di komisariat.
[18] Pemilu Raya seringkali menjadi momen pelepasan hasrat politik yang kadang kelepasan, waspadai! Waspadai! Warning: rasa kecewa susah diobati!
[19] Penulis sudah punya gambaran rencana untuk menuliskan ini, karena menuliskannya disini tidak begitu efektif bagi penulis sendiri.
[20] BEM-SEFA merupakan institusi yang paling resisten dalam perjalanan HMI Hukum, katakanlah beberapa disharmonisasi yang terjadi pada periode 2001 dimana kebijakan yang diambil adalah BEM dibawah instruksi Bidang PTKP yang merasa terlalu banyak dicampur-tangani komisariat, BEM merasa hanya menjadi “buruh” pelaksana kebijakan (penulis yang ketika itu masih departemen bahkan pernah mengikuti semacam “pengadilan” BEM-SEFA yang diwakili oleh sdr. Prayitno Hadi Karta selaku Ketua BEM dan sdr. Alfian Rohman Rosyid selaku Ketua SEFA oleh Komisariat yang pada saat itu diketuai oleh sdr. Iwan Kurniawan). Periode 2000 ketua komisariat merangkap sebagai Ketua BEM, yang katanya cerita-cerita yang penulis dengar dari saudara Hary Tri Wicaksono, (Ketua Bidang PTKP periode 2000-2001) pun terjadi disharmonisasi dengan bidang PTKP.
[21] Kami melihat bahwa LSO tidak begitu resisten karena LSO adalah lembaga intra yang berwajah ekstra disamping LSO memliki keanggotaan yang cukup jelas (ada mekanisme masuknya) dan hamper sebagian anggotanya adalah anggota HMI (LPM AZAS dan FORDIMA seluruhnya anggota HMI), sehingga menaruh LSO sebagai bagian koordinasi bidang komisariat kami pikir tidak begitu bermasalah. Setahu penulis disharmonisasi antara komisariat dan LSO pernah terjadi pada tahun 2002 (penulis waktu itu adalah ketua Bidang kekaryaan dan kebijakan komisariat memang tidak mengambil BEM-SEFA) yakni FORDIMA yang merasa dikekang geraknya, pengurus FORDIMA (khususnya Bram Suprayoga) menginginkan FORDIMA melakukan advokasi pada masyarakat tertindas dan termarjinal, namun disharmonisasi itu selesai ketika telah dijelaskan apa yang hanya diinginkan HMI, yaitu diembannya visi-misinya dan FORDIMA bebas memilih ruang untuk mewujudkan misi itu.
[22] Setahu penulis,—maaf dan benarkan kalau salah—LSO Judicial Watch lahir tahun 2001 yang dibentuk oleh peserta Diklat Pelatihan Hukum yang diadakan oleh BEM-SEFA Hukum UMM sebagai follow up dari semacam
¨diskusi mahasiswa (penulis lupa bentuknya, seminar, diskusi public atau hanya sekedar diskusi biasa) tentang Dunia Peradilan (tema juga lupa). LSO ini memang diprakarsai oleh anggota HMI (sdr. Alfian Rohman Rosyid selaku Ketua SEFA dan sdr. Prayitno Hadi Karta selaku Ketua BEM) dan menurut cerita saudara Alfian kepada penulis, LSO ini keinginannya diperuntukkan kepada angkatan 2000 sebagai forum komunikasi anggota HMI di Fakultas sebagaimana Forum Silaturrahmi (FOSIL) 99 tetapi—menurut penulis—tampaknya terlambat satu tahun, semangat angkatan 2000 sudah agak kendur disamping kondisi perkaderan 2000 yang agak morat-marit
[23] Lihat tuntutan poin (4) dan (5) Suara Kader Edisi: Keharusan…
[24] Penulis kehilangan catatan (agenda) masalah ini, sehingga tanggal ini hanya mengikuti deadline yang tuntut “Suara Kader” tertanggal 23 Mei 2004 yakni pada tuntutan poin (1) karena apabila tidak diadakan 3x24 jam maka mereka yang tergabung dalam “Suara kader” akan menggelar Diskusi Kader
[25] Adaptasi dari kata-kata dalam, Zainudin Maliki, Narasi Agung, (Surabaya: Lpam, 2003) hal. 48.
PS: Disampaikan dalam Lokakarya Perkaderan HMI Cabang Malang Komisariat Hukum UMM tanggal 22-23 Rajab 1426 H. bertepatan dengan tanggal 27-28 Agustus 2005 bertempat di Intan Bungalow, Batu, Jawa Timur. Saat itu tulisan ini berjudul "Mencoba keluar dari gua Plato, melihat realitas yang sesungguhnya (Periode 2003-2004 sebuah gambaran singkat)"
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* : 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar
sebenernya sih enggan, karena takut juga dengernya, tapi gimana lagi ntar dibilang melanggar HAM, ga' ngasih tempat buat protes, dah nulis ga' tanggung jawab.. okelah konstruktif, dekonstrukstif maupun dekstruktif sekali pun aku siap dengarnya.
thanks for comment..