14 April, 2013

Dengan Pena Lawan Penindasan! Pers Mahasiswa, Pengantar Singkat

Tema yang diangkat kawan-kawan LPM “AZAS” diatas, “Dengan Pena Lawan Penindasan!” jelas bukan bual besar dan tidak mengada-ada, lihat saja Peran Pers Nasional dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada Pasal 6 huruf e, yakni Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.[1] Karena penindasan pasti menafikkan keadilan, dan keadilan mustahil ada tanpa kebenaran[2], keadilan dan kebenaran adalah jalinan yang berkelindan, yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam alam yang adil dan benar sangat mempersyaratkan, tak adanya tempat bagi penindasan, bagi perampokan hak. Maka dalam menjalankan perannya itu pers mesti (niscaya dan harus) merdeka[3], objektif, netral dan imparsial dalam artian tetap “berpihak” kepada keadilan dan kebenaran.

Namun sangat disayangkan dalam perjalanannya (bahkan mungkin sejak kelahirannya), kemerdekaan, netral, objektif dan imparsial itu hanyalah mimpi yang tak kunjung padam, sebutlah disatu sisi kemerdekaan pers sampai hari ini masih saja tetap up to date untuk diperjuangkan, pembredelan, pelarangan berita demonstrasi, pelarangan berita A, B, C, dst menjadi bukti yang cukup, tercatat dalam lembar kesejarahan pers di Indonesia. Di sisi lainnya kita melihat, kenetralan, objektifitas, dan imparsialitas itu pun tak jua dilakukan oleh kebanyakan—kalau tak boleh menyebut semuanya—pers, hal itu terrefleksi dari berita, tajuk, sampai karikatur misalnya yang diangkat dan dipilih dengan telah melewati seleksi yang ketat dalam dapur redaksi yang kemudian menyusuaikan “aspirasi politik” pasarnya.
Kita melihat, ada banyak bentuk pers yang diterjemahkan sebagai media perjuangan politik, katakanlah saja Koran kampus UMM (bukan pers mahasiswa tapi humas universitas!) “Bestari” sejak saya masuk UMM di tahun 2000 sampai hari ini, tidak pernah saya melihat koran ini memberitakan “masalah” kampus putih ini, padahal masalah itu entah segede gunung apa sudah? mungkin semua berita atau persepsi yang ditanamkan kepada para wartawan Berstari adalah, “jangan menjelekkan kampus!” atau “hindari sesuatu yang mengindikasikan kampus bermasalah!”, belum lagi media massa partai, media massa pemerintah, bahkan media massa umum, lihat saja dulu Juli 2004, ketika Surya Paloh—tokoh media itu, katanya—ikut dalam konvensi calon presiden RI Partai Golkar, Metro TV kerapkali mengkampanyekannya, dan calon lain? Begitu pula Suara Merdeka, Koran yang terbit di Semarang mengalami hal serupa ketika pemiliknya ikut bursa pencalonan DPD Jateng 2004.[4]
Dilema seperti diatas, memang kerap dialami, seperti sebuah “konflik internal”, pergulatan antara idealisme dan modal sangat menghantui dunia pers. Buah simalakama; memegang idealisme dan siap gulung tikar atau memilih modal, menggadaikan idealisme. Kenetralan, objektifitas, dan imparsialitas yang harusnya berarti berpihak kepada keadilan dan kebenaran bergeser menjadi berpihak pada apa dan siapa.
Peran yang diidealkan dan menjadi cita-cita mulia diatas, sangat diwanti-wanti oleh dunia jurnalistik, sebab contohkanlah isu-isu politik yang dilansir media massa dalam beritanya mempunyai implikasi tertentu dalam kehidupan sosial. Penelitian[5] menunjukkan bahwa pengaruh yang besar media massa ini disebabkan media massa mempunyai kemampuan[6], pertama, menciptakan kesan (image) dan persepsi bahwa suatu muatan media (khususnya televisi) menjadi lebih nyata dalam realitasnya; kedua, media massa mampu membuat liputan “apa yang terjadi” menjadi lebih nyata, media bias menjadi refleksi atau gambaran lingkungan sekitarnya; ketiga, media merepresentasikan pandangan-pandangan yang dipakai masyarakatnya. Pada akhirnya, media bisa menjadi imajinasi simbolik tentang kesatuan nasional dan identitas nasional; keempat, media diyakini sejak lama menjadi semacam kanal yang berfungsi mengalirkan emosi dan kecenderungan distruktif psikologis lainnya menjadi gejala internal (individu) yang wajar. Aristoteles, misalnya, sejak lama menyatakan bahwa menonton pemandangan agresif dapat mengeluarkan perasaan-perasaan agresif yang dimiliki. Baik positif maupun negatif, konstruktif maupun destruktif, pengaruh itu ditentukan oleh faktor lain dari media massa. Faktor itu bersumber dari komunikannya; tepatnya bagaimana persepsi komunikan terhadap keberadaan (eksistensi) dari suatu media massa. Bilanglah ketika media massa dianggap “kredibel” (dapat dipercaya), bisa jadi dari sudut jurnalistiknya memiliki akurasi dan validitas liputan yang tinggi, maka pengaruh media tersebut cenderung besar.
Akademi Fantasi Indonesia (AFI) pertama kali dulu membuat banyak masyarakat, bapak-bapak, ibu-ibu, remaja, sampai anak-anak menangis ketika ada idolanya tereliminasi, atau bagaimana sebuah liputan kelaparan di Yahokimo, Papua, membuat banyak mahasiswa membuat aksi simpatik penggalangan dana, Bagaimana mulai dari kecaman sampai penyerangan terhadap Play Boy Indonesia edisi perdana, Bagaimana tulisan seorang wartawan yang memberitakan sekolah tak layak di daerah pegunungan mampu melahirkan sebuah kebijakan dari pemeraintah hanyalah sedikit contoh dari kekuatan pers. 
Pers Mahasiswa
            Kata “pers” dalam pers mahasiswa (persma) adalah sebuah genus begrip dari pengertian pers pada umumnya. Secara sederhana, persma adalah pers yang dikelola oleh mahasiswa. Namun lebih dari itu, dengan menyandang predikat mahasiswa, persma tentunya berbeda dengan pers umum kebanyakan, karena ada sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari predikat tersebut yakni identitas-antara yang menghubungkan negara dengan masyarakat. Legitimasi historis atas peran moral force misalnya, telah terbukti dari generasi ke generasi yang berarti bahwa pilihan generasi di masa lampau pun harus diemban oleh generasi masa kini tanpa harus mempersoalkannya, dengan begitu ada sebuah ruh, nilai, pandangan kebenaran, ideologi atau apalah namanya yang kemudian menjadi sebuah landasan gerak bagi aktivitas kemahasiswaan (termasuk di dalamnya persma!).[7] Di samping itu, mahasiswa sebagai kaum muda harus selalu berpandangan normatif, apa yang seharusnya. 
            Dalam menjalankan peran moral force, maka mahasiswa harus senantiasa merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan kelompok apapun, kecuali kepentingan kebenaran dan keadilan demi kebahagiaan masyarakat hari ini dan kedepan. Untuk itu persma yang merupakan organisasi kemahasiswaan harus menjiwai dan dijiwai oleh sifat mahasiswa. Dengan lain perkataan, persma harus menjiwai dan dijiwai sifat independen.
            Disinilah pers mahasiswa harus mampu tampil sebagai pers alternatif, pers pers yang mampu memainkan peran alternatif sebagai penyemangat (supporting system) dan penyeimbang (balancing system) dalam dunia jurnalistik dimana dengan independensinya dan pandangan normatifnya, ia harusnya dapat memberikan alternatif-pilihan bagi masyarakat. Pers yang mampu memberikan kerangka konseptual (pemikiran alternatif), baik bagi penyadaran masyarakat maupun mahasiswa.[8] Pers yang diharapkan tidak akan terjebak dalam “konflik internal”, idealisme-modal.
            Dalam penelitian Didik Supriyanto yang coba mencari korelasi antara hidup-matinya persma karena kebijakan negara (pembredelan) dengan timbul-tenggelamnya protes-protes mahasiswa sepanjang tahun 1978-1993, dapat kita tangkap bahwa persma pada tahun 1980-an mampu melakukan gerakan alternatif dengan penetrasi eksternal yang cukup massif dalam rangka membangun kesadaran kritis mahasiswa pada umumnya, sehingga kebijakan penguasa dalam paket NKK/BKK yang bertujuan membungkam gerakan mahasiswa mulai ditentang, protes-protes mahasiswa mulai menyeruak ke permukaan lagi meskipun protes, demonstrasi merupakan perbuatan terlarang.[9]
            Adalah bukti yang cukup kiranya untuk menyebut bahwa persma bukanlah sekedar kegiatan minat dan bakat mahasiswa! Melainkan alat perjuangan dalam melawan penindasan! Hidup presma!
Sabtu, 22 April 2006, jam telah menunjukkan pukul 03.55 WIB sebaiknya saya akhiri dengan mengutip Goenawan Mohamad dalam Pengantar buku karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme:
“Jurnalisme tidak bermula dan tidak berakhir dalam berita. Sikap ingin tahu adalah awalnya dan dasarnya. Seperti sebuah batu pertama yang berlanjut menjadi fondasi sebuah lorong. Setelah itu jurnalisme menempuhnya dalam keadaan ruwet dan licin, yang membutuhkan bukan saja keterampilan dan kecerdikan, tapi juga kesediaan dan kemampuan untuk menjadi polisi lalu lintas dan kemudian menjadi jaksa dan hakim terhadap diri sendiri, yang awas terhadap pelanggaran. Terdakwa pertama memang bukan orang lain. Setelah berita ditulis dan dimuat, status terdakwa itu belum tentu selesai”[10]
Billahittaufiq Wal Hidayah



[1] Peran lainnya adalah “ a) Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b) Menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; c) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; d) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-halyang berkaitan dengan kepentingan umum.
[2] Katakanlah keadilan dalam menyampaikan sebuah informasi, hanya dapat diwujudkan ketika fakta yang diangkat adalah “benar”.
[3] Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyatyang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. (vide Pasal 2 UU No. 40/1999). Dalam konsiderans, menimbang dikatakan pula bahwa kemerdekaan per situ dijamin oleh Konstitusi (vide Pasal 28 UUD 1945).
[4] “Independensi Media: Mimpi yang tak Kunjung sirna” Laporan Utama Kompas Mahasiswa, Majalah Mahasiswa UNS, Edisi 76 November 2005. h. 6.
[5] Antara lain: Austin Ranney, Channels of Power-The Impact of Television on American Politics, American Enterprise Institute for Public Policy Research, New York; Jeffrey Alexander, The Media in Systematic, Historical and Comparative Perspective, dalam Elihu Katz and Szecsko edt Mass Media and Social Change, Beverly Hill, California, 1981. dikutip dalam Redi Panuju, Relasi Kuasa Negara, Media Massa dan public (Pertarungan Memenangkan Opini Publik dan Peran dalam Transformasi Sosial), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. 
[6] Jeffrey Alexander,… dalam Ibid., h. 40-41.
[7] Arief Zein Nokthah, Pers Alternatif itu Tumbuh di Batu, tulisan yang gagal masuk Prokon Aktivis Jawa Pos saat mengambil tema “Nasib Pers Mahasiswa”, minggu kedua April 2005.
[8] Afan Gaffar, Kata Pengantar dalam Didik Supriyanto, Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998. h. 9. 
[9] Ditengah ketatnya kebijakan NKK/BKK yang menjadikan mahasiswa sebagai man of analisys dan knowledge worker, dimana Dewan Mahasiswa dibubarkan, mahasiswa memilih “lari” kepada dua bentuk aktivitas kemahasiswaan (kelompok studi dan LSM mahasiswa) yang menumbuhkan mental block dan gape dalam tubuh gerakan mahasiswa. Persma memberikan wadah bertemu bahwa refleksi akan lebih lengkap dengan aksi!
[10] Dikutip dalam Maria Rita I.H. “Profesionalisme Pers Nasional dalam Ancaman”, Teropong, Media Hukum dan Keadilan, vol. III No. 9, Juni 2004. h. 11.

Disampaikan dalam Stadium General Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistik “Dengan Pena Lawan Penindasan” yang diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) “AZAS” Fakultas Hukum UMM,  
Tanggal 22 s/d 25 April 2006, bertempat di Kampus 2 UMM

related post



0 komentar:

Posting Komentar

sebenernya sih enggan, karena takut juga dengernya, tapi gimana lagi ntar dibilang melanggar HAM, ga' ngasih tempat buat protes, dah nulis ga' tanggung jawab.. okelah konstruktif, dekonstrukstif maupun dekstruktif sekali pun aku siap dengarnya.
thanks for comment..