Tema yang diangkat
kawan-kawan LPM “AZAS” diatas, “Dengan
Pena Lawan Penindasan!” jelas bukan bual besar dan tidak mengada-ada, lihat
saja Peran Pers Nasional dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada Pasal 6
huruf e, yakni Memperjuangkan keadilan
dan kebenaran.[1] Karena penindasan pasti menafikkan
keadilan, dan keadilan mustahil ada tanpa kebenaran[2], keadilan dan kebenaran adalah jalinan
yang berkelindan, yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam alam yang
adil dan benar sangat mempersyaratkan, tak adanya tempat bagi penindasan, bagi
perampokan hak. Maka dalam menjalankan perannya itu pers mesti (niscaya dan
harus) merdeka[3], objektif, netral dan imparsial dalam
artian tetap “berpihak” kepada keadilan dan kebenaran.
Namun sangat disayangkan
dalam perjalanannya (bahkan mungkin sejak kelahirannya), kemerdekaan, netral,
objektif dan imparsial itu hanyalah mimpi yang tak kunjung padam, sebutlah
disatu sisi kemerdekaan pers sampai hari ini masih saja tetap up to date untuk diperjuangkan,
pembredelan, pelarangan berita demonstrasi, pelarangan berita A, B, C, dst menjadi
bukti yang cukup, tercatat dalam lembar kesejarahan pers di Indonesia. Di sisi
lainnya kita melihat, kenetralan, objektifitas, dan imparsialitas itu pun tak
jua dilakukan oleh kebanyakan—kalau tak boleh menyebut semuanya—pers, hal itu
terrefleksi dari berita, tajuk, sampai karikatur misalnya yang diangkat dan
dipilih dengan telah melewati seleksi yang ketat dalam dapur redaksi yang
kemudian menyusuaikan “aspirasi politik” pasarnya.
Kita melihat, ada banyak
bentuk pers yang diterjemahkan sebagai media perjuangan politik, katakanlah
saja Koran kampus UMM (bukan pers mahasiswa tapi humas universitas!) “Bestari”
sejak saya masuk UMM di tahun 2000 sampai hari ini, tidak pernah saya melihat
koran ini memberitakan “masalah” kampus putih ini, padahal masalah itu entah
segede gunung apa sudah? mungkin semua berita atau persepsi yang ditanamkan
kepada para wartawan Berstari adalah, “jangan menjelekkan kampus!” atau
“hindari sesuatu yang mengindikasikan kampus bermasalah!”, belum lagi media massa
partai, media massa pemerintah, bahkan media massa umum, lihat saja dulu Juli
2004, ketika Surya Paloh—tokoh media itu, katanya—ikut dalam konvensi calon
presiden RI Partai Golkar, Metro TV kerapkali mengkampanyekannya, dan calon
lain? Begitu pula Suara Merdeka, Koran
yang terbit di Semarang mengalami hal serupa ketika pemiliknya ikut bursa
pencalonan DPD Jateng 2004.[4]
Dilema seperti diatas,
memang kerap dialami, seperti sebuah “konflik internal”, pergulatan antara
idealisme dan modal sangat menghantui dunia pers. Buah simalakama; memegang
idealisme dan siap gulung tikar atau memilih modal, menggadaikan idealisme. Kenetralan,
objektifitas, dan imparsialitas yang harusnya berarti berpihak kepada keadilan
dan kebenaran bergeser menjadi berpihak pada apa dan siapa.
Peran yang diidealkan dan
menjadi cita-cita mulia diatas, sangat diwanti-wanti oleh dunia jurnalistik,
sebab contohkanlah isu-isu politik yang dilansir media massa dalam beritanya
mempunyai implikasi tertentu dalam kehidupan sosial. Penelitian[5] menunjukkan bahwa pengaruh yang besar
media massa ini disebabkan media massa mempunyai kemampuan[6], pertama,
menciptakan kesan (image) dan
persepsi bahwa suatu muatan media (khususnya televisi) menjadi lebih nyata
dalam realitasnya; kedua, media massa
mampu membuat liputan “apa yang terjadi” menjadi lebih nyata, media bias
menjadi refleksi atau gambaran lingkungan sekitarnya; ketiga, media merepresentasikan pandangan-pandangan yang dipakai
masyarakatnya. Pada akhirnya, media bisa menjadi imajinasi simbolik tentang
kesatuan nasional dan identitas nasional; keempat,
media diyakini sejak lama menjadi semacam kanal yang berfungsi mengalirkan
emosi dan kecenderungan distruktif psikologis lainnya menjadi gejala internal
(individu) yang wajar. Aristoteles, misalnya, sejak lama menyatakan bahwa menonton pemandangan agresif dapat
mengeluarkan perasaan-perasaan agresif yang dimiliki. Baik positif maupun
negatif, konstruktif maupun destruktif, pengaruh itu ditentukan oleh faktor
lain dari media massa. Faktor itu bersumber dari komunikannya; tepatnya
bagaimana persepsi komunikan terhadap keberadaan (eksistensi) dari suatu media
massa. Bilanglah ketika media massa dianggap “kredibel” (dapat dipercaya), bisa
jadi dari sudut jurnalistiknya memiliki akurasi dan validitas liputan yang
tinggi, maka pengaruh media tersebut cenderung besar.
Akademi Fantasi Indonesia
(AFI) pertama kali dulu membuat banyak masyarakat, bapak-bapak, ibu-ibu,
remaja, sampai anak-anak menangis ketika ada idolanya tereliminasi, atau
bagaimana sebuah liputan kelaparan di Yahokimo, Papua, membuat banyak mahasiswa
membuat aksi simpatik penggalangan dana, Bagaimana mulai dari kecaman sampai
penyerangan terhadap Play Boy Indonesia edisi perdana, Bagaimana tulisan
seorang wartawan yang memberitakan sekolah tak layak di daerah pegunungan mampu
melahirkan sebuah kebijakan dari pemeraintah hanyalah sedikit contoh dari
kekuatan pers.
Pers Mahasiswa
Kata “pers” dalam pers mahasiswa (persma) adalah
sebuah genus begrip dari pengertian
pers pada umumnya. Secara sederhana, persma adalah pers yang dikelola oleh
mahasiswa. Namun lebih dari itu, dengan menyandang predikat mahasiswa, persma
tentunya berbeda dengan pers umum kebanyakan, karena ada sesuatu yang tidak
bisa dilepaskan dari predikat tersebut yakni identitas-antara yang
menghubungkan negara dengan masyarakat. Legitimasi historis atas peran moral force misalnya, telah terbukti
dari generasi ke generasi yang berarti bahwa pilihan generasi di masa lampau
pun harus diemban oleh generasi masa kini tanpa harus mempersoalkannya, dengan
begitu ada sebuah ruh, nilai, pandangan kebenaran, ideologi atau apalah namanya
yang kemudian menjadi sebuah landasan gerak bagi aktivitas kemahasiswaan
(termasuk di dalamnya persma!).[7] Di samping itu, mahasiswa sebagai kaum
muda harus selalu berpandangan normatif, apa yang seharusnya.
Dalam
menjalankan peran moral force, maka
mahasiswa harus senantiasa merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan
kelompok apapun, kecuali kepentingan kebenaran dan keadilan demi kebahagiaan
masyarakat hari ini dan kedepan. Untuk itu persma yang merupakan organisasi
kemahasiswaan harus menjiwai dan dijiwai oleh sifat mahasiswa. Dengan lain
perkataan, persma harus menjiwai dan dijiwai sifat independen.
Disinilah
pers mahasiswa harus mampu tampil sebagai pers
alternatif, pers pers yang mampu memainkan peran alternatif sebagai
penyemangat (supporting system) dan
penyeimbang (balancing system) dalam
dunia jurnalistik dimana dengan independensinya dan pandangan normatifnya, ia
harusnya dapat memberikan alternatif-pilihan bagi masyarakat. Pers yang mampu
memberikan kerangka konseptual (pemikiran alternatif), baik bagi penyadaran
masyarakat maupun mahasiswa.[8] Pers yang diharapkan tidak akan terjebak
dalam “konflik internal”, idealisme-modal.
Dalam
penelitian Didik Supriyanto yang coba mencari korelasi antara hidup-matinya
persma karena kebijakan negara (pembredelan) dengan timbul-tenggelamnya
protes-protes mahasiswa sepanjang tahun 1978-1993, dapat kita tangkap bahwa
persma pada tahun 1980-an mampu melakukan gerakan alternatif dengan penetrasi
eksternal yang cukup massif dalam
rangka membangun kesadaran kritis mahasiswa pada umumnya, sehingga kebijakan
penguasa dalam paket NKK/BKK yang bertujuan membungkam gerakan mahasiswa mulai
ditentang, protes-protes mahasiswa mulai menyeruak ke permukaan lagi meskipun
protes, demonstrasi merupakan perbuatan terlarang.[9]
Adalah
bukti yang cukup kiranya untuk menyebut bahwa persma bukanlah sekedar kegiatan
minat dan bakat mahasiswa! Melainkan alat perjuangan dalam melawan penindasan! Hidup
presma!
Sabtu, 22 April 2006, jam
telah menunjukkan pukul 03.55 WIB sebaiknya saya akhiri dengan mengutip Goenawan
Mohamad dalam Pengantar buku karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel berjudul
Sembilan Elemen Jurnalisme:
“Jurnalisme tidak bermula
dan tidak berakhir dalam berita. Sikap ingin tahu adalah awalnya dan dasarnya.
Seperti sebuah batu pertama yang berlanjut menjadi fondasi sebuah lorong.
Setelah itu jurnalisme menempuhnya dalam keadaan ruwet dan licin, yang
membutuhkan bukan saja keterampilan dan kecerdikan, tapi juga kesediaan dan
kemampuan untuk menjadi polisi lalu lintas dan kemudian menjadi jaksa dan hakim
terhadap diri sendiri, yang awas terhadap pelanggaran. Terdakwa pertama memang
bukan orang lain. Setelah berita ditulis dan dimuat, status terdakwa itu belum
tentu selesai”[10]
Billahittaufiq Wal Hidayah
[1] Peran lainnya adalah “ a) Memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui; b) Menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong
terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati
kebhinekaan; c) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,
akurat, dan benar; d) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap
hal-halyang berkaitan dengan kepentingan umum.
[2] Katakanlah keadilan dalam menyampaikan
sebuah informasi, hanya dapat diwujudkan ketika fakta yang diangkat adalah
“benar”.
[3] Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud
kedaulatan rakyatyang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan
supremasi hukum. (vide Pasal 2 UU No. 40/1999). Dalam konsiderans, menimbang
dikatakan pula bahwa kemerdekaan per situ dijamin oleh Konstitusi (vide Pasal
28 UUD 1945).
[4] “Independensi Media: Mimpi yang tak
Kunjung sirna” Laporan Utama Kompas
Mahasiswa, Majalah Mahasiswa UNS, Edisi 76 November 2005. h. 6.
[5]
Antara lain: Austin Ranney, Channels of
Power-The Impact of Television on American Politics, American Enterprise
Institute for Public Policy Research, New York; Jeffrey Alexander, The Media in Systematic, Historical and
Comparative Perspective, dalam Elihu Katz and Szecsko edt Mass Media and Social Change, Beverly
Hill, California, 1981. dikutip dalam Redi Panuju, Relasi Kuasa Negara, Media Massa
dan public (Pertarungan Memenangkan Opini Publik dan Peran dalam Transformasi
Sosial), Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2002.
[6] Jeffrey
Alexander,… dalam Ibid., h. 40-41.
[7]
Arief Zein Nokthah, Pers Alternatif itu
Tumbuh di Batu, tulisan yang gagal masuk Prokon Aktivis Jawa Pos saat
mengambil tema “Nasib Pers Mahasiswa”, minggu kedua April 2005.
[8] Afan Gaffar, Kata Pengantar dalam Didik
Supriyanto, Perlawanan Pers Mahasiswa:
Protes Sepanjang NKK/BKK, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998. h. 9.
[9] Ditengah ketatnya kebijakan NKK/BKK yang
menjadikan mahasiswa sebagai man of
analisys dan knowledge worker, dimana
Dewan Mahasiswa dibubarkan, mahasiswa memilih “lari” kepada dua bentuk aktivitas
kemahasiswaan (kelompok studi dan LSM mahasiswa) yang menumbuhkan mental block dan gape dalam tubuh gerakan mahasiswa. Persma memberikan wadah
bertemu bahwa refleksi akan lebih lengkap dengan aksi!
[10] Dikutip dalam Maria Rita I.H.
“Profesionalisme Pers Nasional dalam Ancaman”, Teropong, Media Hukum dan Keadilan, vol. III No. 9, Juni
2004. h. 11.
Disampaikan dalam Stadium General
Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistik “Dengan Pena Lawan Penindasan” yang
diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) “AZAS” Fakultas Hukum UMM,
Tanggal
22 s/d 25 April 2006, bertempat di Kampus 2 UMM
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* : 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar
sebenernya sih enggan, karena takut juga dengernya, tapi gimana lagi ntar dibilang melanggar HAM, ga' ngasih tempat buat protes, dah nulis ga' tanggung jawab.. okelah konstruktif, dekonstrukstif maupun dekstruktif sekali pun aku siap dengarnya.
thanks for comment..