“Saya sering mengemukakan pentingnya menyusun dan merumuskan Konsepsi Negara Hukum Indonesia sebagai satu kesatuan sistem… bangsa Indonesia perlu menyusun satu blue print sebagai desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem Hukum Nasional
yang hendak kita bangun dan kita tegakkan”
Kutipan diatas adalah sambutan dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly Asshiddiqie, SH. yang disampaikan dalam pembukaan Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) 2005 yang dilaksanakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) tanggal 21-22 Nopember 2005 di Jakarta. Gagasan pembangunan hukum dalam konteks negara hukum “versi” Indonesia dewasa ini kembali marak khususnya pasca amandemen ketiga UUD 1945 yang memasukkan rumusan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” dalam Pasal 1 ayat (3) dan menghapus “Penjelasan” yang—sering dipertanyakan kelaziman, kekuatan hukum, dan ketidak-konsistenannya dengan batang tubuh—dahulu menjadi dasar Negara Hukum Indonesia dengan kalimat “Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat)”. Tulisan berikut ingin turut menyoroti dan memotret konsepsi negara hukum Indonesia.
Istilah negara hukum dalam negara hukum Indonesia yang dalam Penjelasan UUD 1945 dulu adalah “negara berdasarkan hukum (rechtsstaat)” adalah sebuah genusbegrip dari pengertian negara hukum umumnya. Walaupun merujuk kata rechtstaats namun konsepsi ini tidaklah identik dengan konsep negara hukum Eropa Kontinental, katakanlah Oemar Senoadji (1980) berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena menurutnya Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, dengan begitu Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila, pun begitu dengan Padmo Wahyono (1986) dimana menurutnya negara hukum itu harus disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, artinya, digunakan dengan ukuran dan pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita. Ada kecenderungan interpretasi pula tentang negara hukum itu yang mengarah pada konsep rule of law seperti Sunarjati Hartono dalam bukunya “Apakah Rule of Law itu?”
Hari ini, istilah negara hukum bahkan sering dicampur-adukkan, yang kemudian dapat kita pahami adalah tidak lagi relevan membedakan antara konsep rule of law dan rechtstaat karena istilah ini kemudian menjadi sebuah gagasan, jargon, slogan universal tentang cita sebuah negara yang menghendaki hukum diatas segalanya, negara yang menolak kekuasaan lepas tanpa kendali, negara yang mengharamkan kekuasaan di monopoli oleh satu institusi, kelompok bahkan perorangan. Hendak dikatakan disini negara hukum adalah sebuah gagasan universal namun tidak sebagai sebuah konsepsi.
Negara hukum yang lahir di abad 19 memang lahir sebagai sebuah reaksi dan koreksi negara absolut yang berkembang sebelum itu, tetapi terlepas dari konteks itu menurut Satjipto Rahardjo (2003), negara hukum (rule of law) merupakan sebuah institusi sosial yang memiliki struktur sosiologisnya sendiri, yakni berangkat dari akar sosial dan akar budaya Eropa. Sehingga sebuah gagasan negara hukum yang bersifat universal itu akan susah dalam mengakomodir semua konteks (negara). Sebab di samping artinya yang materiil, negara hukum itu bisa juga berwajah negara diktator, otoriter bahkan tiran bila mengartikannya secara formil, karena menurut Friedmann (1959) “any system of norms based on hierarchy of orders, even the organized mass murders of the Nazi regime, qualify as law”.
Dengan begitu, gagasan universal negara hukum ketika masuk dalam sebuah konsepsi suatu negara akan menyesuaikan dengan konteks akar sosial dan akar budayanya. Katakanlah perjuangan menegakkan negara hukum di Inggris yang menekankan pada hubungan hukum dan keadilan (just law) walaupun di Inggris tak ada piagam HAM dan Undang-Undang Dasar tetapi penegakan rule of law (yang materiil, just law) dan pemeliharaan HAM dapat dirasakan setiap saat oleh man on the street, di Amerika yang berkutat pada HAM, bahwa tegaknya rule of law adalah terjaminnya pelaksanaan HAM, Belanda menegakkan rule of law dengan memulainya dari persoalan: dapatkah suatu instansi pemerintah melakukan perbuatan melawan hukum atau yang lebih dikenal dengan istilah onrechtmatige overheidsdaad, dan detournement de pouvoir, Korea yang menjadikan rule of law tidak berbau asing yang membikin susah masyarakatnya, membubuhkan kata just diantaranya hingga menjadi the rule of just law dan Jepang dengan sadar lebih mengunggulkan moral di atas hukum. Lalu bagaimana dengan negara hukum kita?
Wacana tentang negara hukum sebagai bentuk ideal dari tipe kenegaraan memang tidak masuk dalam perdebatan para founding fathers dalam forum BPUPKI dan PPKI, yang mengedepan diantaranya perdebatan tentang dasar negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan dan ide/cita negara. Penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen yang menjadi landasan negara hukum Indonesia bukanlah hasil kerja dari badan yang menyusun dan menetapkan UUD 1945 (BPUPKI dan PPKI) melainkan kerja pribadi Soepomo yang dimasukkan bersama-sama batang tubuh ke dalam Berita Republik Tahun 1946 dan Lembaran Negara RI Tahun 1959.
Selain juga dikarenakan founding fathers terlalu disemangati obsesi untuk membentuk satu bangunan negara yang khas Indonesia, seperti demokrasi menjadi demokrasi pancasila, ekonomi menjadi ekonomi pancasila, negara hukum menjadi negara hukum Indonesia/pancasila, trias politica dengan lembaga tertinggi MPR-nya, yang mengakibatkan Menurut Mukti Fadjar (2003) mengeliminasi gagasan universal dengan mengedepankan state atas society.
Namun terlepas dari perjalanan tidak mengenakkan setelahnya dalam beberapa orde/era, seperti kata Satjipto Rahardjo kehadiran orde/era yang buruk merupakan sebuah nececery evil sebagaimana Eropa menunggu berabad-abad dalam negara absolut untuk sebuah tatanan demokrasi dan negara hukum konstitusional. Namun yang terpenting menurut penulis, adalah “ke-kitaan” dari para founding fathers kita, yang menyadari betul bahwa Indonesia adalah institusi sosial yang memiliki struktur sosiologisnya sendiri, berbeda dengan rule of law yang berangkat dari sebuah tatanan liberal yang sangat dipengaruhi oleh paradigma positivisme (yang berprinsip: hukum sama dengan undang-undang; tidak terdapat hubungan mutlak antara hukum dan moral; hukum adalah closed logical system), dimana keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang bersifat obyektif, tidak memihak/netral, dan otonom. Dimana tegaknya keadilan adalah tegaknya pelaksanaan peraturan dan prosedur.
Untuk mewujudkan sebuah sistem hukum nasional di bawah panji negara hukum Indonesia sebagaimana kutipan pembukaan SPHN di atas, kiranya kita tidak meninggalkan bahkan kudu wajib berpijak pada falsafah atau nilai-nilai luhur bangsa yang tertuang dalam alinea ke-4 dari Pembukaan UUD 1945 (ingat, kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945 pada sidang tahunan MPR 1999 yang pertama adalah tidak mengubah pembukaan UUD 1945), yang kita sebut Pancasila. Bukankah dari dulu mula dikatakan bahwa Pancasila adalah sumber dari sumber hukum? Sedang kita pahami, bahwa dalam pancasila terkandung nilai-nilai dasar: (1). Moralitas/etika, salah satunya adanya prinsip freedom of religion di Indonesia yang berarti wajib bagi warga negaranya untuk memeluk agama tidak seperti di Amerika freedom of religion dapat berarti boleh tidak memeluk agama. (2). Kekeluargaan, kerukunan, keseimbangan dan musyawarah yang merupakan titik tolak kehidupan kemasyarakatan, dapat dipahami dengan memadang bahwa negara yang memegang kekuasaan dalam rangka semata-mata sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat, bukan kelompok apalagi perseorangan. Bahwa keadilan harus dipahami sebagaimana Pound yang melihat keadilan dalam hasil-hasil konkret yang dapat diberikannya kepada masyarakat yang berupa pemenuhan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Tak ada kemakmuran tanpa keadilan dan tak ada keadilan tanpa kemakmuran, mungkin begitu sebagaimana cita-cita kita untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan makmur.
Keberaniaan dan merdeka adalah unsur terpenting saat ini. Kita harus merdeka dan berani membalik semua tatanan hukum universal yang telah ada dalam sistem hukum kita dan menyatakan berikutnya bahwa ini hukum kita, bukan Anglo, bukan Kontinental, bukan Islam, tapi hukum Indonesia. Kedua tentunya meng-ada-kan kehendak kita itu. Katakanlah pendidikan tinggi hukum yang selama ini lebih—kalau tidak boleh berkata hanya—ditekankan pada pembacaan dan penguasaan peraturan perundang-undangan maka harus lebih mengutamakan doktrin hukum Indonesia yang mengedepankan moral dan keadilan. Kemudian menindak-lanjuti proyek besar yang belum selesai dari perubahan UUD 1945 diantaranya mengejawantahkan konsepsi negara hukum dalam bentuk rigid berupa sistem hukum nasional, penataan struktur/kelembagaan hukum guna menyesuaikan perubahan UUD 1945, dan penegakan hukum yang bukan penegakan prosedur dan pasal-pasal. Selanjutnya adalah kontrol atas itu semua, partisipasi rakyat dalam pembangunan hukum merupakan suatu keniscayaan. Akhirnya sebuah pembangunan negara hukum bukanlah peristiwa yang begitu saja terjadi, bukan taken for granted melainkan by design. Mungkin begitu.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* : 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar
sebenernya sih enggan, karena takut juga dengernya, tapi gimana lagi ntar dibilang melanggar HAM, ga' ngasih tempat buat protes, dah nulis ga' tanggung jawab.. okelah konstruktif, dekonstrukstif maupun dekstruktif sekali pun aku siap dengarnya.
thanks for comment..