Tentu saja mereka banyak dipengarahui teori kritis ilmu sosial, pada tahun itu mulai subur di Amerika pengajaran mengenai Marx dan teori kritis yang lain, Hal itulah yang mewarnai mereka dalam melihat fenomena hukum, kalau dulunya mereka melihat dari realisme hukum, itu juga sangat radikal yang mengkritik positivisme, mereka mengambil manfaat realisme itu tapi melampaui apa yang dicapai realsme, pada dasarnya orang yang berasal dari critical ini sumber pemikiran mereka itu sebenarnya berasal dari american legal realism yang melihat hukum tidak universal tapi terkait dengan apa yang disaksikan dalam masyarakat, atau bagaimana masyarakat memahami itulah hukum, bukan berdasarkan yang dipahami dalam bangku ilmu hukum. bukan silogisme, analog dan sebagainya, tapi yang ada di masyarakat itulah yang diambil oleh CLS dengan melihat lebih jauh lagi, karena itu saya akan masuk orientasi teori CLS.
Pertama, CLS ingin melihat hukum agar hukum dipandang sebagai produk politik, jadi bukan hal yang terpisah dari politik, maka itulah hidden agenda harus dilihat, misalnya penerapan hukum, ajudikasi, bukan hanya menyangkut kemampuan hakim dalam menerapkan hukum berdasarkan logikan silogisme, tetapi hakim juga dipengaruhi oleh struktur politik di mana dia berada. Kita lihat hukum dimasa orde baru, Kedung Omboh, secara obyektif kasus itu ada pengambilan tanah oleh pemerintah, kalau kita baca ilmu hukum dalam bidang pertanahan itu jelas perampasan, kalau kita beragurmentasi secara obyektif berdasarkan logika hukum apa yang dilakukan pemerintah adalah perampasan tanah, tapi jika kita lihat di pengadilan, kita menyaksikan bagaimana hakim menginterpretasikan hukum, dia tidak membaca prinsip hukum yang benar tetapi sudah ditekan oleh struktur politik yang menindas dia, ada policy negara yang harus diselamatkan, maka putusan itu mengalahkan rakyat, jika diuji secara murni rakyat seharusnya menang. Kita harus melihat apa motif suatu produk hukum, putusan hakim dan peraturan perundang-undangan, itu meligitimasi struktur tertentu atau tidak, yang ingin ditanamkan di sini adalah suatu sikap kecurigaan pada produk itu. karena itulah mereka mengatakan bahwa hukum itu tidak netral, tidak bebas nilai, hukum itu senantiasa produk dari pergolakan politik dari kelas-kelas di masyarakat baik yang diuntungkan maupun dirugikan.
Kedua, CLS itu mempersoalkan legitimasi, dia ingin menyoal apakah suatu hukum itu legitimate atau tidak?. Dalam positivisme, kita tidak pernah mempertanyakan legitimasi. Misalnya produk TAP MPR, itu diputuskan oleh lembaga yang berkompeten, kita tidak peduli atau tidak mempersoalkan karena memang ia dibuat oleh lembaga yang berkompeten untuk itu. dalam CLS dia mempersoalkan legitmasi badan pembuat UU itu sendiri, di sinilah aspek ideologi dilihat. mereka melihat hukum sebagai suatu ideology yang bisa memelihara sistem. nah itulah yang ingin diungkap oleh CLS,karena itu ada beberapa kasus yang ditunjukkan mereka misalnya peradilan pidana, negara tampil sebagai institusi yg netral, produk persetujuan masyarakat, mereka ada yang mengatur, kekuasaan yang diberikan salah satunya adalah hukum, KUHP itu adalah rumusan tindak pidana, yang merumuskannya adalah masyarakat. misalnya pencurian adalah dihukum, dikriminalisasikan, masyarakat menganggap sesuatu yang dipidana agar bisa menjaga keseimbangan dalam masyarakat, maka ditunjuk negara untuk menerapkan sanksisansinya, menjalankannya.
Seringkali dalam analisis sosial yang liberal, negara adalah sarana untuk bersaing dan untuk merebut kemenangan dengan meminjam tangan negara, negara tidak mempunyai kepentingan, yang punya kepentingan adalah masyarakat, padahal negara juga mempunyai kepentingan, dalam arti negara dalam perkembangannya adalah suatu kelas yang punya kepentingan yang macam-macam, maka ia bisa mendefinisikan apa itu yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat. negara untuk mempertahankan dirinya dari kontrol masyarakat dia kemudian membuat peraturan-peraturan yang kalau masyarakat melakukannya bisa dihukum, misalnya TAP MPR memberikan kewenangan kepada Soeharto untuk menjaga stabilitas pembangunan, itu berarti memberikan kekuasaan yang sangat besar dan legitimate. nah itulah yang dibongkar, konstruksi itulah yang dipersoalkan oleh CLS dalam konteks legitimasi. Yang dipersoalkan adalah bagaimana konstruksi itu terjadi sehingga dapat membongkar motifnya apa; yang memberikan proteksi pada diri sendiri bukan pada masyarakat.
Ketiga, CLS menampilkan kontradiksi hukum liberal atau hukum positivisme, mereka menunjukkan beberapa doktrin, prinsip, adagium yang sering kita dengar itu adalah suatu kontradiktif yang bohong besar, misalnya doktrin semua orang sama di depan hukum; the rule of law, kebebasan berkontrak, dll. mereka menunjukkan ada konstradiksi dalam doktrin-doktrin atau adagium tadi. Kalau kita mengandaikan seperti itu, maka perlakuan kita pada orang badui atau yang lain itu adalah sama, padahal ada konteks yang berbeda, padahal liberal. misal: di Amerika yang liberal tetapi ada perlakuan diskrimatif pada negro, spanich dan lain-lain.
CLS mengharapkan hukum lebih responsive dalam masyarakat, jadi ada aspek emansipasinya. misalnya kebebeasan berkontrak, itu ada suatu kondisi dimana masing-masing pihak itu equal, tetapi kalau kepentingan itu berbeda, maka itu tidak bisa diterapkan, ada kondisi orang harus menerima apa yang dtawarkan oleh lawannya. makanya tidak ada kebebasan berkontrak.
Tiga hal itulah yang dijadikan standar untuk melihat kajian CLS, yang lebih penting adalah kita melihatnya: dia lebih maju dari pada realism jurisprudence, karena ia masuk mempersoalkan itensi masyarakat dalam aplikasi hukum dalam berbagai bentuk, hidden agenda yang ingin ditelusuri. apa motifnya, latar belakangnya, hidden agenda, struktur apa yang dipertahankan.
Notulensi Pelatihan Kearah Pemikiran Hukum Kritis,
HuMa, G.G. House Ciawi Bogor, 26–29 Maret 2003. (www.huma.or.id)
Kalo dalam Islam ada perdebatan antara fiqih yang lebih menekankan formalisme ajaran, dan tasawwuf yang lebih menekankan subtansi ajaran.
BalasHapusKetika berbicara tentang shalat, fiqih cenderung berbicara aturan-aturan formal yang menentukan sah-tidaknya salat, seperti rukun dan sarat.
Sedang tasawwuf akan lebih menekankan sisi subtantif, seperti apa hakekat salat. Tasawwuf sering mengabaikan aturan-aturan formal fiqih.