Pendapat Kosasih, Waryono, dan Gatot, uang yang menentukan dalam hukum Indonesia (Kompas, 29/12/ 2003), bisa mewakili pendapat banyak orang di Republik ini, di mana rakyat kebanyakan sulit sekali mendapat keadilan. Keadilan hanya dinikmati kaum berduit, persis seperti plesetan semboyan hukum "everyone is equal before the law," yang lalu diembel-embeli klausul "especially for those who can afford it!" Ironis memang meski hal itu dapat dengan mudah bisa dipahami berhubung mahalnya pengacara, apalagi dengan makin kandasnya kantor pengacara kelas "rakyat", seperti YLBHI, karena tidak lagi mendapatkan dana (The Jakarta Post, 29/12/2003).
Pendapat itu tidak usah disanggah, tetapi perlu dilengkapi. Maksudnya, pendapat itu baru mencerminkan separuh dari persoalan carut-marutnya hukum di negeri ini. Separuh persoalan lagi terletak dalam ketidakadilan yang inheren dalam hukum itu sendiri. Dengan ini, mengharapkan penegakan hukum sebagai satu-satunya jalan keluar justru akan membawa ke labirin tak berujung.
Karena itu, yang perlu disadari adalah pada dasarnya hukum sendiri tidak pernah adil atau setidaknya tidak akan pernah sepenuhnya menjamin keadilan.
Pendapat beberapa orang yang dikutip di atas adalah persoalan ketidakadilan dalam penerapan, sementara harus disadari, dalam pembuatan dan dalam produknya pun hukum juga menggendong ketidakadilan. Tulisan singkat ini akan menguraikan ketidakadilan yang inheren dalam hukum itu dan usulan untuk meminimalkannya.
Ketidakadilan Hukum
Ada empat faktor penting yang membuat hukum tidak adil pada dirinya. Pertama, secara sosio-politis, hukum bersifat kompromis. Hukum bisa dipandang sebagai hasil kontrak sosial antara berbagai golongan masyarakat yang mempunyai pandangan ideologis dan kepentingan berlainan. Selain kompromi pada dirinya memuat ketidakadilan, berkait dengan hal ini ada dua hal lagi yang memberi warna ketidakadilan dalam hukum.
Yang pertama adalah mekanisme keterwakilan tiap unsur masyarakat dalam kontrak sosial itu hampir tidak mungkin sempurna, apalagi dalam sebuah negara yang begitu besar seperti Indonesia. Hal ini akan menjadi makin jauh dari ideal bila undang-undang politik suatu negara menghalangi peran serta beberapa golongan masyarakat tertentu. Kasus tarik- menarik dalam menentukan wakil rakyat, baik anggota DPR maupun DPD, adalah salah satu contoh bagaimana mekanisme keterwakilan masyarakat pun tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Yang kedua, setelah wakil-wakil rakyat/golongan ditetapkan, mekanisme pembicaraan yang intens dan fair yang dilandasi rasa saling percaya (mutual trust) dalam menentukan hukum sebagai kompromi pun tidak akan sepenuhnya memuaskan. Kasus suap anggota DPR, mekanisme recalling anggota DPR oleh partai, serta banyaknya anggota DPR yang bolos dan atau tidur selama persidangan menunjukkan hal tersebut. Begitu pula dengan mekanisme drafting suatu hukum sering kali tidak transparan untuk khalayak banyak.
Kedua, keterikatan hukum dalam suatu dimensi ruang tertentu. Artinya, pandangan-pandangan keadilan yang dibawa para wakil rakyat/golongan untuk dibicarakan itu tidak mungkin mewakili seluruh pandangan masyarakat. Sekali lagi, dalam sebuah masyarakat yang begitu besar dengan daerah yang begitu luas, makin jauhlah mekanisme keterwakilan itu dari ideal.
Kita lihat, di negeri ini hampir semua wakil rakyat berkedudukan di Jakarta dan tidak sedikit yang sudah lama tinggal di Jakarta. Hanya sesekali saja mereka datang ke daerah pemilihannya mendengarkan aspirasi rakyat. Dengan itu, makna keadilan dari seorang wakil rakyat bisa amat berbeda dengan makna yang dikehendaki rakyat yang diwakilinya. Karena itu, wajar bila demokrasi di republik ini disebut masih amat elitis dan sepantasnya kaum elite yang mengatasnamakan diri sebagai wakil rakyat harus mempertegas komitmennya kepada rakyat (Kompas, 29/12/ 2003).
Ketiga adalah keterikatan hukum dalam dimensi waktu tertentu. Paralel dengan keterikatan hukum dengan dimensi ruang, dalam bentangan waktu ini pandangan keadilan dari masyarakat yang kini terjadi, yang kemudian ditampung dalam rumusan hukum, tidak akan bisa mewakili pandangan keadilan yang akan terjadi nanti di kemudian hari atau di masa datang. Seiring dengan dinamika sosial masyarakat (mencakup dinamika politik, ekonomi, dan budaya), pandangan tentang keadilan pun bersifat dinamis sehingga hukum yang telah ditetapkan akan selalu bersifat ketinggalan zaman. Apalagi di tengah arus globalisasi yang mengandaikan derasnya arus informasi dan makin lapuknya sekat-sekat ideologis masyarakat membuat nilai keadilan harus terus dirombak.
Keempat yang tidak kalah penting adalah bahasa. Hukum supaya sungguh menjadi milik publik perlu dirumuskan dalam kata dan kalimat. Menjadi jelas di sini, kata dan kalimat tidak bisa menampung seluruh ide keadilan, bahkan keadilan yang kompromis itu sekalipun.
Kata dan kalimat bukan hanya reduktif, tetapi juga statis. Artinya, rumusan baku itu tidak bisa menampung dinamika perkembangan semantis ideal keadilan. Terlebih, jika ditempatkan dalam dimensi waktu, rumusan hukum yang sekarang menjadi makin sulit menjawab kebutuhan keadilan di masa depan.
Diminimalkan
Dari paparan pendek itu, ada dua hal yang bisa dikatakan. Pertama, melihat carut-marutnya situasi hukum di Indonesia dapatlah hukum di Indonesia ini diibaratkan sebagai sebuah tembok rumah (yang notabene bisa dipandang sebagai batas sekaligus dipandang sebagai pelindung) yang begitu buruk karena empat hal. Pertama, tembok itu dibangun dengan fondasi rapuh. Kedua, tembok dibangun dengan bahan buruk. Ketiga, tembok itu berada di tempat yang iklimnya jelek. Tembok itu menjadi makin tampak rapuh jika kita melihat faktor lain, yaitu penjaganya, yang terdiri atas hakim, jaksa, pengacara, dan polisi. Bukan rahasia lagi kasus jual beli perkara banyak kali terjadi antara keempat penjaga hukum itu.
Kedua, tentang hukum umumnya, yang berarti mencakup hukum di Indonesia juga, potensi ketidakadilan yang dibawa secara inheren dalam hukum itu nyaris tidak bisa dihapuskan. Ketidakadilan yang sering dirasakan banyak orang, terlebih rakyat kecil, jelas bukan semata-mata karena struktur sosio-politis yang tidak adil, tetapi karena ketidakadilan inheren dalam hukum itu sendiri. Karena itu, yang bisa diusahakan hanyalah meminimalkan ketidakadilan.
Berhubung ketidakadilan dalam produk sulit dihindarkan, yang relatif lebih bisa diusahakan adalah meminimalkan karakter ketidakadilan yang melekat dalam proses pembuatannya. Artinya, pembenahan mekanisme keterwakilan dan mekanisme pengambilan keputusan dalam proses pembuatan hukum perlu dilakukan serius. Bila aturan untuk ini sudah tidak adil, terlalu sulit mengklaim hukum yang akan dihasilkannya adil.
Selain itu, faktor aktor juga perlu diperhitungkan. Artinya, mereka yang berperan dalam proses itu, yang dalam hal ini berarti anggota legislatif, perlu dikontrol dengan baik, bukan hanya diwajibkan mengikuti prosedur. Banyak faktor non-prosedural yang perlu diperhitungkan dan diwaspadai sehingga perlu kontrol ketat, mengingat betapa rentannya manusia mengingkari niat baiknya.
Sehubungan dengan itu, disebarkannya daftar "politisi hitam" oleh LSM-LSM bisa dilihat dalam kerangka kontrol ini. Dalam konteks pembicaraan kita, amat diharapkan pemilu nanti bisa menghasilkan wakil rakyat yang bisa diandalkan dalam memperjuangkan keadilan bagi banyak orang.
Al andang l Binawan, Staf Pengajar STF Driyarkara, Jakarta
Sumber : Kompas, 8 Januari 2004
Tidak Ada Keadilan dalam Hukum,Keadilan hanya akan terus menjadi retrorika semu yang ideal..!
BalasHapus