Laissez fair laissez fassez (biarkanlah semua berjalan sendiri secara bebas), semboyan yang hidup di abad 19 ini tentu saja sudah lama ditinggalkan oleh banyak negara. Bahkan negara kita semenjak merdeka pun tidak pernah sama sekali berperan sebagai "penjaga malam", preambule dan batang tubuh UUD Proklamasi beserta amandemennya secara de jure jelas dan dengan tegas mengatur itu bahwa negara kita adalah Negara Kesejahteraan Republik Indonesia (NKRI). Namun benarkah kiranya jalan hukum yang kita tempuh hari ini sebagaimana yang dikatakan Radbruch, untuk menuju kebahagian (happiness).
Konsekuensi logis Indonesia sebagai "NKRI" menurut Satjipto Rahardjo adalah hukum ikut intervensi untuk mengatur penyelenggaraan berbagai upaya kesejahteraan seperti pendidikan, ekonomi, politik dan lain-lain dengan begitu sebagai disiplin ilmu, ilmu hukum lepas dari paradigma bebas nilai (values free) atau obyektif, karena hukum tentu tidak turun diruang hampa, hukum harus memiliki keberpihakan, yakni Keadilan (dengan K besar).
Sudah banyak memang yang mencoba menerjemahkan Keadilan itu, Aristoteles, memandangnya sebagai suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak. Terbersit dalam pikiran kita pemerintah yang notabene-nya sebagai pelaksana dari Undang-undang, apakah pernah mengeluarkan suatu kebijakan tanpa dasar hukum yang jelas? tampaknya tidak ada, karena dalam Hukum Administrasi Negara kerap kita dengar istilah seperti a bus de droit, de tournement de pouvoir, onbevoegdheid yang artinya ada kaidah yang (telah) tegas diatur oleh hukum sebagai—kalau boleh kita bilang—rule of the game.
Kalau kita mengingat bunyi Pasal 33 UUD 1945 tentu kita akan tertuju pada konsepsi Pound yang melihat Keadilan dalam hasil-hasil konkret yang dapat diberikannya kepada masyarakat yang berupa pemenuhan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya.
Memang ada satu kaitan yang tidak longgar antara hukum dan kekuasaan karena salah satunya saja tidak ada ibarat ungkapan Einstein tentang agama dan ilmu pengetahuan, hukum akan lumpuh, kehilangan kekuatan pengintegrasi dan pengkoordinasi proses-proses dalam masyarakat dengan kata lain hukum tidak dapat dijalankan atau ditegakkan. Begitu pula kekuasaan tanpa hukum akan buta, cenderung disalahgunakan, disamping kekuasaan memang memiliki sifat negatif seperti cenderung berpihak pada kepentingan penguasa, cenderung dipertahankan dari ancaman kekuasaan lain dan cenderung diselewengkan sebagaimana Acton ungkapkan; power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely. Walau dapat dikatakan hukum (baca: Undang-undang) merupakan produk kekuasaan, namun hukum juga merupakan sumber dari kekuasaan tersebut, sehingga hukum harus ditempatkan pada tempatnya yakni sebagai panglima, bukan sebaliknya kekuasaan.
Hukum "NKRI" memang sangat—kalau tidak boleh dibilang pasti—diwarnai oleh Mahzab Positivisme, tidak cuma prosedur yang ditekankan tetapi bisa dilihat dari pandangan Austin tentang hukum yang tampak secara jelas diterapkan secara de facto di negeri ini bahwa; satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan, dimana hukum adalah perintah dari penguasa (law is a command of the law giver). Hart malah menegaskan arti positivisme antara lain; hukum adalah perintah, keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang ada terlebih dahulu tanpa menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, hukum sebagaimana diundangkan atau ditetapkan harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Yang (juga) ditegaskan lagi oleh Kelsen, dimana hukum haruslah dipisahkan dari anasir-anasir bukan hukum seperti anasir etika, politik, sosiologi dan lain-lain. Hukum adalah sollenskatagori, hukum sebagai keharusan bukan kenyataan, orang harus menaati hukum karena itu adalah perintah dari penguasa, cukuplah.
Dengan begitu hukum "NKRI" lebih menekankan rasionalitas dan formalitas diatas segala-galanya (rationality above else). Rasionalitas ini ditandai dengan sifat peraturan hukum yang prosedural. Prosedur, dengan demikian menjadi dasar legalitas yang penting untuk menegakkan keadilan, bahkan prosedur menjadi lebih penting daripada bicara tentang keadilan itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Rahardjo, kita bisa mengatakan justice is done atau justice is delivered ketika kita telah menerapkan peraturan dan prosedur positif. Singkatnya hukum adalah undang-undang, telah diterapkannya undang-undang maka keadilan telah dijalankan.
"konflik internal hukum" tampaknya masih menjadi alasan klasik yang tak pernah ketinggalan jaman saat melihat fenomena banyaknya pencari keadilan yang dirugikan, terlukainya rasa keadilan masyarakat, enjoy-nya aparat dalam mengingkari kebenaran. Ya, antara keadilan dan kepastian hukum secara teoritik dan keadilan di dalam kepastian hukum secara empirik.
Susahnya untuk menyatukan cita-cita, ide dan harapan dengan realitas/kenyataan pun masih menjadi satu apologi yang cukup ampuh dan sakti untuk menghindar ketika berbicara tentang semakin dalamnya keterpurukan hukum di Republik yang tujuannya merdeka adalah …merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
law in book akan selalu berbeda dengan law in action kata seorang teman.. halah
Halo Pak Calon Jaksa! Akhirnya buat juga blog di blogspot.
BalasHapusTentang Penegakan hukum, saya dan treman2 menunggu kiprah sdr ketika dah jadi jaksa dan menangani kasus.
Sepengetahuan saya yang "gaptek" hukum ini, UUD 45 yang kita pakai sampai sekarang itu sebenarnya saat dibuat hanya bersifat sementara. Maksudnya, dibuat dulu UUD "sementara" tsb, nanti kalau semua udah beres dan perjuangan fisik sudah selesai maka akan dibuat UUD yang lebih "tidak sementara".
BalasHapusBenar nggak bung Arief? Kalau benar kenapa kita masih saja memakai UUD sementara yang dibuat dengan waktu sesingkat-singkatnya dan dalam tempo yang secepat-cepatnya itu?
sepertinya begitu bung Ideris, banyak ketidak-jelasan dalam sejarah pembentukan negara ini termasuk di dalamnya pembentukan UUD. sebutlah dibuatnya UUDS 1950 dulu banyak pelajar kita tidak mengetahui bahwa itu merupakan produk negosiasi antara pemerintahan RIS di bawah bung Karno dan pemerintahan RI di Jogja, dibawah mr. assaat.. jadi dalam sejarahnya sebenarnya mr assaat adalah presiden RI, tapi hari ini ia seakan ditelan oleh misteri yg entah kapan bakal terungkap.
BalasHapusjadi bisa jadi betul pembangunan hukum agak tertatih-tatihmengikuti perkembangan nilai-nilai di masyarakat, cth lain seperti KUHP , KUH Perdata yag sekarang kita pakai masih peninggalan penjajahan kolonial dulu.. sialnya di negeri belanda sendiri produk UU itu sudah lamaaaaaaaaaaaaa sekali ga' dipakai.