07 April, 2014

Cuplikan materi PAK

cuplikan saja dari materi PAK yang disampaikan pada 25 April 2012 
dalam Seminar Pendidikan Anti Korupsi Tingkat SMU se-kab. Barito Timur ___________

Setelah dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara KPK dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 09 Maret 2012 yang lalu, Mendikbud, Mohammad Nuh, menyatakan bahwa mulai tahun ajaran baru, Juli mendatang, secara serentak akan dimulai pendidikan anti korupsi di sekolah dan perguruan tinggi. Pendidikan ini tidak hanya diberlakukan kepada peserta didik, tetapi juga insan pendidikan termasuk kepala sekolah untuk menonjolkan aspek edukasinya. “Pendidikan anti korupsi tidak bisa ditawar. Harus kita lakukan mulai tahun ini," tegasnya.[1]
Sebelum kita sharing tentang apa dan bagaimana arah pendidikan anti korupsi, ada baiknya kita bertanya sesungguhnya untuk apa sih pendidikan? buat apa sekolah? untuk meningkatkan taraf hidup? untuk mendapatkan pekerjaan yang layak?.

Bahwa ada pandangan yang menganggap bahwa pendidikan sebagai jalan menuju dunia kerja yang diinginkan, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin bagus pula pekerjaan yang ia dapat, kira-kira begitu. Pandangan ini tak sepenuhnya salah, bila kita melihat bahwa dalam mencari pekerjaan selalu dan pasti menyertakan syarat berupa pendidikan minimal entah itu SMU atau bahkan S-1. Hanya saja bila pandangan simplistik tersebut menjadi satu-satunya pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan, maka pendidikan menjadi tak lebih dari objek pasar, objek kapitalisasi.
 Bahwa pendidikan dalam arti umum atau luas kerap kali disebut dengan istilah pedagogi, meskipun sesungguhnya pedagogi adalah salah satu pendekatan yang dipakai dalam penyelenggaraan pendidikan, dalam proses belajar-mengajar. Secara bahasa, pedagogi berasal dari bahasa yunani kuno terdiri dari dua kata yaitu Pais yang berarti anak (child) dan Agi yang berarti memimpin (lead), jadi pedagogi berarti lead the child atau memimpin anak[2].
. Nah implikasi salah pandang yang ada dalam pendekatan yang dipakai selama ini dalam proses pendidikan membawa konsekuensi logis menempatkan peserta didik sebagai muridyang pasif. Murid sepenuhnya menjadi obyek suatu proses belajar seperti misalnya,
  • Guru mengajar, murid belajar
  • Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
  • Guru berpikir, murid dipikirkan
  • Guru bicara, murid mendengarkan
  • Guru mengatur, murid diatur
  • Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
  • Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya.
  • Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri.
  • Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid.
  • Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.[3]
Kegiatan belajar mengajar model ini menempatkan guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran[4]
            Hal inilah yang kemudian menjadikan pendidikan tidak lebih dari sekedar sarana transfer pengetahuan (knowledge) bukan transfer nilai (values) yang lebih menekankan pada aspek sikap, moral, dan karakter peserta didik. Hal ini juga membuat masuk akal (make sense) kalau pelaku korupsi itu adalah mereka yang banyak—bila tak boleh mengatakan semua—berpendidikan tinggi, orang yang berpengetahuan dan memiliki ilmu, hal tersebut jelas membuat tanda tanya besar bagi kita apa yang dilakukan lembaga pendidikan? Kemana Pendidikan Moral Pancasila (PMP) atau PPKN atau bagaimana kabar pendidikan Agama? a p a   p e ng a r u h n y a ?
            Belum lagi bila kita sepakat bahwa korupsi kini juga mewabah dalam lembaga pendidikan, tak dapat dipungkiri penyimpangan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), penyelewengan Beasiswa Miskin, penciptaan uang gedung, atau uang bangku, atau uang kaos kaki dan uang segala macam jenisnya itu membuat kita semakin pesimis dengan gagasan pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah apalagi hal tersebut tentu dilakukan oleh guru, oleh seorang pendidik, yah kita bisa saja seperti biasa mengatakan bahwa itu hanyalah oknum tidak mencerminkan lembaga atau instansi dimana dia mengabdi, tetapi kenapa bila ada seorang guru yang berprestasi, yang bekerja secara profesional, berdedikasi, jujur, adil, bertanggung jawab dan memiliki komitmen tinggi untuk dapat menulari peserta didik sehingga memiliki sikap dan perilaku seperti dirinya tidak kita sebut oknum? ada guru berprestasi di Sekolah Meneng Ae... oknuumm… ada guru yang seperti Ki Hajar Dewantara di Sekolah Menengah Uatas…ah cuman oknum..
            Tetapi tentu saja model pendidikan atau kondisi lembaga pendidikan itu sendiri sebagaimana digambarkan di atas tidak membuat kita kemudian menjadi apatis dengan gagasan Pendidikan Anti Korupsi, kita harus tetap optimis, bahwa hakekat pendidikan sesungguhnya adalah membentuk pola pikir, pola sikap dan pola laku peserta didik, pendidikan adalah “proses memanusiakan manusia kembali”[5], membebaskan peserta didik dari belenggu kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan membuka pintu menuju kesadaran kritis (critical consciousness).
Untuk itulah konsep pendidikan anti korupsi yang digagas oleh kemendikbud yang akan dimasukkan dalam kurikulum harus lebih menekankan pada sisi afeksi disamping kognisi, dimana sisi afeksi ini lebih menekankan pada pendidikan karakter dan perubahan pola pikir peserta didik. Oleh karenanya setidaknya ada dua tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan anti korupsi ini. Pertama, untuk menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa. Melalui pendidikan, diharapkan semangat anti korupsi akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Sehingga pekerjaan membangun bangsa yang terseok-seok karena adanya korupsi di masa depan tidak terjadi lagi. Kedua adalah menyadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, melainkan menjadi tanggung jawab setiap anak bangsa. Bahwa korupsi adalah musuh bersama (common enemy), dengan begitu setiap peserta didik akan menjadi Pegiat Anti Korupsi yang senantiasa mengkampanyekan perlawanan terhadap korupsi, menjadi Individu-indvidu yang akan mewujudkan Masyarakat  Anti korupsi.
Berikutnya adalah metode/model pembelajaran, sebagaimana tujuan, Pendidikan Anti Korupsi bukanlah pembelajaran tentang “ilmu anti korupsi”, dimana pendidikan anti korupsi dianggap berhasil kalau peserta didik tau dan hapal apa itu korupsi, mengerti dampaknya ataupun paham akan saksi-sanksinya. Maka model pembelajaran Pendidikan Anti Korupsi harus berani keluar dari koridor pendidikan yang ada selama ini, model Pendidikan Hadap Masalah (problem posing education) patut dicoba, dimana peserta didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Begitu juga sang guru. Jadi keduanya (peserta didik dan guru) saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh peserta didik dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan para peserta didik, begitu pula sebaliknya. Hubungan keduanyapun menjadi subyek-subyek, bukan subyek-obyek sebagaimana “gaya bank”. Obyek mereka adalah realita. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subyek untuk memahami suatu obyek bersama.[6]
Guna mengimplementasikan problem posing education dalam tataran praktis pembelajaran, maka metode dialog (dialogical method) menjadi suatu cara kondusif yang dapat mengembangkan dan memperkuat proses pembelajaran bersama dalam metode ini semua mengajar dan semua belajar dengan cara ini pembelajaran menjadi sangat egaliter dimana tak ada fihak mendominasi fihak lain Pendidik dan Peserta didik sama-sama belajar dari masalah-masalah yang dialami dalam kehidupannya. in this method, all teach and all learn. The dialogical approach contrasts with the anti-dialogical method, which positions the teacher as the transmitter of knowledge, a hierarchical framework that leads to domination and oppression through the silencing of students’ knowledge and experiences. Metode dialog ini amat menentukan pendidikan yang benar seperti pernyataan Freire bahwa “without dialog there is no communication, and without communication there can be no true education“.[7]
Untuk mendukung hal tersebut, perlu dilakukan proses grounded study. Studi lapangan ini penting untuk mengumpulkan fakta dan data, bahwa korupsi memang sudah demikian membudaya di tanah air. Para peserta didik perlu diajak melihat fenomena kemiskinan, kesusahan, dan tingginya ongkos ekonomi dikarenakan tindakan korupsi. Para peserta didik perlu pula melakukan survei dan pengamatan kondisi pelayanan publik di beberapa instansi pemerintah katakanlah pembuatan KTP, SIM, atau pelayanan publik lainnya, dimana peserta didik kemudian mendiskusikan, mencari akar masalah, bersepakat untuk menawarkan alternatif pemecahan masalah dan rekomendasi yang bisa diberikan. Grounded study ini akan memberikan dua manfaat. Pertama, menumbuhkan rasa kepedulian sosial yang tinggi pada siswa melalui the joy of discovery yang mereka lihat dari pengamatan akan fakta-fakta sekitar korupsi. Kedua, membiasakan peserta didik terbiasa kreatif dan inovatif, serta berorientasi pada keinginan untuk tahu (curiosity) melalui proses diskusi dan penyusunan rekomendasi yang mereka lakukan.
Last but not least, sebelum kita berdiskusi dengan lebih intens, bila perubahan pola pikir telah terlihat, sesungguhnya adalah apa yang ada dalam falsafah budaya kita bahwa guru itu untuk digugu dan ditiru, ya perubahan sikap. Bahwa Pendidikan Anti Korupsi adalah upaya pembentukan karakter yang menekankan pada kebiasaan bukan hapalan kognitif. Untuk itu korupsi (penyimpangan) dalam dunia pendidikan dari hal-hal yang selama ini disepelekan seperti korupsi waktu sebutlah terlambat masuk kelas, masuk hanya pada jam pelajaran, atau pemotongan jam belajar karena urusan pribadi, kolusi menyontek, atau melakukan kebohongan dan ketidakjujuran seperti tindakan plagiat, dan perilaku lainnya yang Anti Pendidikan harus segera ditinggalkan. Akhirnya, bukankah hukum perubahan mengatakan bahwa :
-     Perubahan pikir akan merubah sikap,
-     Perubahan sikap akan merubah aksi (tindak),
-     Perubahan aksi akan merubah kebiasaan,
-     Perubahan kebiasaan akan merubah karakter dan
-  Perubahan karakter akan merubah nasib, ya merubah nasib bangsa yang hampir sekarat digerogoti penyakit yang bernama korupsi itu!


[1] http://talentnews.blogspot.com/2012/03/mendikbud-dan-ketua-kpk-tandatangani.html
[2] sedangkan pendekatan mendidik/ilmu mendidik orang dewasa disebut andragogi.
[3] Roem Topatimasang “Memahami Filsafat Pendidikan Paulo Freire” dalam Pendidikan Popular : Panduan Pendidikan untuk Rakyat, ReaD Book, 2000
[4] Hal ini disebut dengan banking concept of education dimana pembelajaran memandang bahwa peserta didik hanyalah bejana yang harus diisi oleh guru/pendidik sebagaimana layaknya menabung di bank dan guru sebagai penabungnya untuk mengisi tabungan peserta didik yang masih kosong.
[5] Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistim kehidupan sosial, politik, ekonom, dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses demumanisasi’. Pendidikan, sebagai bagian dari sistim masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness). Bagaimana kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat secara sederhana diuraiakan sebagai berikut :
Pertama kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka proses belajar mengajar tersebut dalam prepektif Freirean di sebut sebagai pendidikan fatalistik. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistim dan struktur terhadap satu permalahan masyarakat. Murid secara dogmatik menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Yang kedua adalah kesadaran naif. Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masarakat. Dalam kesadaran ini ‘masalah etika, kreativitas, need for achievement dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya ‘membangunan’ dan seterusnya. Oleh karena itu man power development adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan faktor ‘given’ dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
Kesadaran ketiga disebut sebagai kesadaran Kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidak adilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. Lihat Mansour Fakih, Paradigma Pendidikan dan implikasinya terhadap metode dan praktek pendidikan dalam Pendidikan Popular : Panduan Pendidikan untuk Rakyat, ReaD Book, 2000.
[6] Roem Topatimasang, ibid
[7] Dr.Uhar Suharsaputra, Apa itu Critical Pedagogy? dicomot dari http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/07/22/ pendidikan-kritis/

related post



0 komentar:

Posting Komentar

sebenernya sih enggan, karena takut juga dengernya, tapi gimana lagi ntar dibilang melanggar HAM, ga' ngasih tempat buat protes, dah nulis ga' tanggung jawab.. okelah konstruktif, dekonstrukstif maupun dekstruktif sekali pun aku siap dengarnya.
thanks for comment..