16 Juli, 2011

PERAN (JAKSA) PENUNTUT UMUM DALAM PENEGAKAN HUKUM


Founding fathers republik ini telah mencita-citakan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rechtstaat) bukan kekuasaan (Machtstaat), konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945 pun telah menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”[1]. Sebagai konsekuensi dari negara hukum tersebut, maka negara Indonesia harus menjunjung tinggi supremasi hukum dengan berasaskan pada prinsip dasar dari negara hukum yaitu equality before the law yang artinya adalah setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum.
Sebagai suatu negara hukum, maka sudah selayaknya juga segala sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat juga harus berada dalam koridor hukum, artinya dalam masyarakat mutlak diperlukan hukum untuk mengatur hubungan antara warga masyarakat dan hubungan antara masyarakat dengan negara.

29 Mei, 2011

NEGARA HUKUM (kita?)

“Saya sering mengemukakan pentingnya menyusun dan merumuskan Konsepsi Negara Hukum Indonesia sebagai satu kesatuan sistem… bangsa Indonesia perlu menyusun satu blue print sebagai desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem Hukum Nasional 
yang hendak kita bangun dan kita tegakkan”

Kutipan diatas adalah sambutan dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly Asshiddiqie, SH. yang disampaikan dalam pembukaan Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) 2005 yang dilaksanakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) tanggal 21-22 Nopember 2005 di Jakarta. Gagasan pembangunan hukum dalam konteks negara hukum “versi” Indonesia dewasa ini kembali marak khususnya pasca amandemen ketiga UUD 1945 yang memasukkan rumusan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” dalam Pasal 1 ayat (3) dan menghapus “Penjelasan” yang—sering dipertanyakan kelaziman, kekuatan hukum, dan ketidak-konsistenannya dengan batang tubuh—dahulu menjadi dasar Negara Hukum Indonesia dengan kalimat “Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat)”. Tulisan berikut ingin turut menyoroti dan memotret konsepsi negara hukum Indonesia.

KUTIPAN BULAN INI (ask not what your country can do for you -- ask what you can do for your country)

 
John Fitzgerald Kennedy atau kerap di kenal dengan nama John F. Kennedy, Kennedy, John Kennedy, Jack Kennedy, atau JFK, Presiden Amerika Serikat ke-35, seorang gemini yang lahir pada tanggal 29 Mei 1917 di Brookline, Massachusetts, meninggal pada 22 November 1963 karena diterjang peluru Lee Harvey Oswald, Seorang mantan Marinir AS yang sempat membelot ke Uni Soviet, lahir pada tanggal 18 Oktober 1939 dan meninggal 2 hari setelah JFK meninggal saat akan dipindah dari mabes kepolisian Dallas  ke penjara wilayah karena di tembak oleh seorang operator klub malam yang disiarkan langsung oleh media televisi, Jack Leon Rubenstein, lahir pada tanggal 25 Maret 1911 kemudian mengganti namanya pada 1947 dengan Jack Leon Ruby, biasa dikenal denan nama Jack Ruby, ia sendiri meninggal pada tanggal 3 januari 1967, karena penyakit semacam kanker paru-paru.
Baik JFK, Oswald maupun Jack Ruby, meninggal di Rumah Sakit  Parkland Memorial.

Terlepas ada konspirasi atau tidak, hari ini tepat di ulang tahunnya JFK, aku hanya ingin mengutip kata-katanya yang mendunia itu yaitu "ask not what your country can do for you - ask what you can do for your country" yang kira-kira terjemahan bebasnya “Jangan tanya apa yang negara dapat berikan kepadamu, tapi tanya apa yang sudah kamu berikan kepada negaramu”.

Kenapa kutipan ini, menjadi kutipan hari ini, bukan kutipan dari Jack Ruby misalnya yang mengatakan alasan ia menembak Oswald adalah untuk “...saving Mrs. Kennedy the discomfiture of coming back to trial tidak lain dan tidak bukan karena ini adalah bulan Mei, bulan yang tepat, bulan dimana kemarin kita memperingati 103 tahun Kebangkitan Nasional  dan 13 tahun Reformasi yang tepat untuk kita evaluasi, untuk bertanya apakah kebangkitan nasional itu adalah kebangkitan para pribumi penghisap pribumi? Kebangkitan para koruptor beramai-ramai menjarah negeri ini? Kebangkitan para begundal-begundal politik dengan lawakan-lawakan tak lucu di televisi? Apakah kebangkitan nasional itu berarti bahwa bangsa ini sudah tak punya harga diri? Baik dari menggunungnya utang luar negeri? Aset dan Sumber daya alam yang tersisa bak ikan teri? Dengan kemasan memuakkan pembangunan ekonomi..

Tak salahlah kita bertanya kawan, apakah reformasi hanya berupa pergantian baju dari lama menjadi baru, dengan pikir, sikap, prilaku lama yang seolah-olah baru? Sama sepertimu kawan, akupun tak tau, aku hanya ingin membalik quote dari John F. Kennedy tadi, ya membaliknya dan bertanya :   
Kepada kalian para pemegang kuasa atas negara, JANGAN TANYA APA YANG SUDAH RAKYAT BERIKAN KEPADAMU SEMUA, TAPI TANYA APA YANG SUDAH KALIAN BERIKAN KEPADA RAKYAT INDONESIA! YA APA YANG SUDAH KALIAN BERIKAN?!


27 Mei, 2011

LOKAKARYA PERKADERAN HMI '47

Periode 2003-2004 sebuah Gambaran Singkat

Kenyataan bahwa sejarah terus ditulis orang, di semua peradaban
dan sepanjang waktu, sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu 
(Prof.Dr. Kuntowijoyo)1

MUKADDIMAH
Tujuan yang termuat dalam Term of Reference2 Lokakarya Perkaderan (selanjutnya disingkat, LP) HMI Cabang Malang Komisariat Hukum UMM (selanjutnya disebut HMI Hukum) yang merupakan amanat Rapat Anggota Komisariat (RAK) XII3 di Cangar, Batu, memiliki beberapa maksud yang antara lain pertama, bahwa  LP mencoba menapaki jejak-jejak yang tertinggal di HMI Hukum di tiap masanya, ini penting karena beberapa alasan diantaranya karena minimnya sejarah tulisan (historiografi) dalam HMI Hukum, sedangkan selama ini hanya merujuk pada sejarah lisan,—yang hari ini mulai susah untuk diketahui disebabkan beberapa pelaku sejarah sudah tidak lagi berada di Malang—kemudian tidak terlacaknya draft-draft hasil RAK tiap periode4 padahal kita sadari bersama bahwa sejarah adalah sesuatu yang sangat berharga, sejarah adalah literatur yang tak tergantikan, karena sejarahlah yang akan mengikat kita dalam sebuah desain perkaderan HMI Hukum, bukankah karena sejarah pula kita terbentuk walaupun aliran posmodernis coba mendekonstruksi itu, mereka menuntut para sejarawan untuk mengakui bahwa bahasa (sejarah tulisan) bukan sekedar alat untuk menyatakan pikiran atau menyimpan ingatan tetapi memiliki kemungkinan menciptakan realitas, tetapi tentu kita juga harus menolak dekonstruksi ini sebagaimana Taufik Abdullah berpendapat; “tanpa keyakinan bahwa kebenaran empirik dan historis adalah sesuatu yang bisa didapatkan, kita hanya akan menggerayang dalam kegelapan”.5