17 Agustus, 2011

PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN (Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP)

“Perkara Sampah Masuk Keranjang Sampah”
Bulan Juli lalu aku mendapatkan perintah untuk meneliti berkas perkara dari penyidik perihal dugaan “perbuatan tidak menyenangkan”, ini tentu saja bukan yang pertama aku “mendapatkan” perkara dengan sangkaan Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, namun bila aku ingat tidak dari semuanya saat tuntutan (requisitoir) dibacakan, aku membuktikan pasal ini, ya biasanya memang dalam berkas perkara yang dikirimkan oleh penyidik pasal yang dikenakan biasanya berlapis ataupun bersifat alternatif seperti Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP disandingkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 12/Drt/1951 yaitu perbuatan secara tanpa hak membawa senjata penusuk maupun senjata penikam. Aku sih ingin cerita kenapa aku tidak membuktikan Pasal 335 itu, tidak lain karena setiap kali mendapatkan pasal itu, aku merasa perbuatan dari tersangka/terdakwa itu tidak memenuhi unsur dari Pasal 335 itu, namun anehnya selama kurang lebih 2 tahun aku bergelut dalam pekerjaan yang senantiasa dan selalu berhadapan dengan masalah ini, banyak sekali perkara yang dikerjakan penyidik menyelipkan Pasal 335 di dalam sangkaannya, ini menjadi mengingatkanku pada waktu kuliah dulu bahwa perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP adalah “pasal karet” adalah “keranjang sampah”, bahkan banyak yang mengatakan bahwa semua perbuatan dapat masuk dalam pasal ini, harusnya pasal ini dihapus, tapi benarkah demikian sederhana?

16 Juli, 2011

PERAN (JAKSA) PENUNTUT UMUM DALAM PENEGAKAN HUKUM


Founding fathers republik ini telah mencita-citakan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rechtstaat) bukan kekuasaan (Machtstaat), konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945 pun telah menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”[1]. Sebagai konsekuensi dari negara hukum tersebut, maka negara Indonesia harus menjunjung tinggi supremasi hukum dengan berasaskan pada prinsip dasar dari negara hukum yaitu equality before the law yang artinya adalah setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum.
Sebagai suatu negara hukum, maka sudah selayaknya juga segala sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat juga harus berada dalam koridor hukum, artinya dalam masyarakat mutlak diperlukan hukum untuk mengatur hubungan antara warga masyarakat dan hubungan antara masyarakat dengan negara.

29 Mei, 2011

NEGARA HUKUM (kita?)

“Saya sering mengemukakan pentingnya menyusun dan merumuskan Konsepsi Negara Hukum Indonesia sebagai satu kesatuan sistem… bangsa Indonesia perlu menyusun satu blue print sebagai desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem Hukum Nasional 
yang hendak kita bangun dan kita tegakkan”

Kutipan diatas adalah sambutan dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly Asshiddiqie, SH. yang disampaikan dalam pembukaan Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) 2005 yang dilaksanakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) tanggal 21-22 Nopember 2005 di Jakarta. Gagasan pembangunan hukum dalam konteks negara hukum “versi” Indonesia dewasa ini kembali marak khususnya pasca amandemen ketiga UUD 1945 yang memasukkan rumusan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” dalam Pasal 1 ayat (3) dan menghapus “Penjelasan” yang—sering dipertanyakan kelaziman, kekuatan hukum, dan ketidak-konsistenannya dengan batang tubuh—dahulu menjadi dasar Negara Hukum Indonesia dengan kalimat “Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat)”. Tulisan berikut ingin turut menyoroti dan memotret konsepsi negara hukum Indonesia.