22 Mei, 2011

KORUPSI DAN PENGATURANNYA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA


I.          PENDAHULUAN
Korupsi !!! Pejabat di Instansi ini korupsi !!! Proyek ini sarat dengan korupsi !!! Barang-barang mewah itu hasil dari korupsi !!!
Kalimat-kalimat di atas mungkin sudah sering kita peroleh, baik dari media masa maupun dari media audio visual yang sehari-hari hadir di hadapan kita. Sehingga frasa ”korupsi” sudah seperti hal yang biasa saja di telinga kita, sedangkan sesungguhnya korupsi merupakan suatu hal luar biasa dan pada saat ini, korupsi sudah menjadi masalah global antar negara yang tergolong kejahatan transnasional. Bahkan atas implikasi buruk multidimensi terhadap kerugian ekonomi dan keuangan negara yang besar, maka korupsi digolongkan sebagai extra ordinary crime sehingga pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas agenda pemerintahan hampir semua negara di dunia untuk ditanggulangi secara serius.
Tranparancy International, sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional yang concern terhadap penanganan kasus korupsi memberikan sebuah report bahwa  pada tahun 1999 Indonesia tergolong negara terkorup dari 41 negara yang diamati, yang diamati menyusul tahun 1996-2000, Indonesia tidak pernah beranjak dari dari kategori lima besar negara terkorupsi di dunia. Sedangkan menurut Political and Economic Risk Colsultacy (PERC) sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang popular di Asia, dalam kurun waktu tahun 2002 – 2004, Indonesia merupakan negara yang terkorup di benua Asia.[1] Tak pelak lagi Indonesia mendapatkan stigma sebagai negara yang termasuk ‘jagonya’ korupsi, dan menjadi surga para koruptor.

                      Dalam skala internasional, korupsi di lingkungan pejabat pemerintah juga suatu masalah akut di sebagian terbesar negara-negara Asia, Amerika Latin dan Afrika. Meluasnya korupsi ini timbul karena transisi dari suatu masyarakat tradisionil yang mengalami kemajuan secara tidak serempak dalam hal mengubah loyalitas dari komunitas lama ke loyalitas pada bangsa.[2] Selain itu, korupsi merupakan suatu hal yang inheren dalam setiap bentuk pemerintah yang bagaimanapun.[3] Kasus korupsi pertama dan terbesar di Indonesia adalah yang terjadi di tubuh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) sebuah persekutuan dagang Hindia Belanda yang memonopoli perdagangan di Indonesia pada awal masa penjajahan Belanda di Indonesia. Sebuah perusahaan yang dapat mengalahkan banyak kerajaan di Nusantara, ternyata hancur dari dalam karena korupsi yang dilakukan oleh para pejabat-pejabatnya. Dari hal ini dapat dilihat bahwa korupsi dapat menghancurkan banyak negara yang dipersatukan dan dipimpin VOC. Maka tidak aneh apabila korupsi ini dapat pula menghancurkan negara Indonesia jika tidak cepat segera ditanggulangi.
                     Dilihat dari gambaran di atas, maka penyakit korupsi di Indonesia dalam suatu lembaga pemerintah, walaupun itu pemerintah Belanda, ternyata sudah ada beberapa abad sebelumnya. Maka, dapat juga dimengerti kalau penyakit korupsi ini pun seperti tumbuh subur di Indonesia, terutama pada rejim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun, dimana korupsi ini seperti mendapat lahan yang tepat, dan akhirnya secara ironis dianggap sebagai suatu hal yang wajar dalam masyarakat Indonesia. Hal di atas senada dengan yang disampaikan oleh Soedarso, yang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia besar kemungkinan timbul dari kultur Indonesia sendiri, dimana perbuatan korupsi ini sejak dulu secara diam-diam ditolerir oleh masyarakat.[4] Oleh karena itu, patut dicermati masalah praktek korupsi yang ada di Indonesia, untuk selanjutnya dilakukan berbagai upaya untuk penanggulangannya.

II.      Pengertian “Korupsi”  dan Dampak Negatifnya
Selama ini, kosa kata ”korupsi” sudah sangat populer di Indonesia. Hampir semua orang di negeri ini, baik dari rakyat di pedalaman, mahasiswa, pegawai negeri, pihak swasta, aparat penegak hukum sampai pejabat negara pernah mendengar kata ”korupsi”.
Asal kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti dalam bahasa Inggris : Corruption (corrupt), dalam Bahasa Belanda : corruptie, yang kemudian turun ke bahasa  Indonesia menjadi “korupsi”.[5]
Secara harafiah, arti dari ”korupsi” adalah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, dan sebagainya.[6] Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian “korupsi” adalah “Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.”[7] 
Adapun dalam kriminologi, delik korupsi dapat diartikan suatu delik/perbuatan tindak pidana yang mewujudkan perbuatan melawan hukum oleh seseorang pejabat publik atau kekuasaan yang secara resmi diberikan kepadanya atau wewenang resminya atau kemungkinan yang menyertainya untuk tujuan memuaskan kepentingan pribadinya atau kepentingan pihak ketiga.
  Dengan berbagai pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa korupsi mengandung pengertian yang sangat luas, yang pada intinya adalah suatu hal buruk yang bertujuan untuk memenuhi kepetingan tertentu dan bertentangan dengan norma yang berlaku.
Pengertian yuridis korupsi secara konkrit sebenarnya telah dimuat secara tegas untuk pertama kalinnya dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi dalam Undang Undang tersebut dirujuk dari Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari Wet Boek Van Strafrecht (Wvs) yaitu KUHP Negeri Belanda pada saat menjajah negara kita. Selanjutnya rumusan-rumusan delik korupsi tersebut dimuat kembali dan dikembangkan dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dipertegas lagi di dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU-PTPK). Sampai saat ini Undang Undang inilah yang berlaku dan dijadikan sebagai pedoman dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini.
Bahwa suatu perbuatan telah dijadikan sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana dalam suatu perundang-undangan (kriminalisasi) sehingga perbuatan tersebut diancam dengan pidana, menandakan bahwa perbuatan tersebut merupakan hal yang menimbulkan akibat yang sangat merugikan, tidak saja bagi individu tertentu, tetapi juga masyarakat bahkan terhadap negara. Demikian juga dengan korupsi. Perbuatan korupsi telah menimbulkan berbagai dampak negatif antara lain sebagai berikut :
1.    Korupsi menggerogoti keuangan negara, sehingga pertumbuhan perekonomian negara menuju kesejahteraan masyarakat menjadi terhambat.
2.    Korupsi menurunkan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah yang selanjutnya berimplikasi pada merosotnya kewibawaan pemerintah di mata rakyat.
3.    Korupsi menurunkan disiplin nasional, karena dengan adanya praktek kebiasaan korupsi (suap), segala sesuatu yang telah ditentukan dengan prosedur menjadi dapat disimpangi.
4.    Korupsi menyebabkan tidak meratanya tingkat potensi ekonomi dari masyarakat sehingga masyarakat di lapisan bawah (grass root) akan terpicu untuk memiliki kecemburuan sosial terhadap masyarakat kelas atas.
5.    Korupsi akan membawa masyarakat untuk tidak percaya pada hukum karena segala sesuatu akan dapat diselesaikan dengan uang pelancar (suap).
6.    Korupsi akan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, karena masing-masing elemen bangsa akan saling curiga jika terdapat indikasi adanya penyimpangan dari keuangan negara.
Melihat dahsyatnya dampak negatif akibat perbuatan korupsi tersebut, diperlakukan tekad bulat dari Pemerintah Indonesia untuk dapat memberantas korupsi di negeri ini. Tekad bulat untuk memberantas tindak pidana korupsi tersebut juga harus dipayungi secara yuridis yaitu dengan dikeluarkannya Undang Undang sebagai dasar pemberantasan tindak pidana korupsi.

III.  Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU-PTPK) sebagai Perangkat Perundang-undangan Pidana Dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana diterangkan di atas bahwa dari sisi perundang-undangan, maka Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU-PTPK). Dalam UU-PTPK ini, tindak pidana korupsi diancam dengan pidana penjara dan pidana denda yang sangat tinggi, bahkan diantaranya diancam dengan pidana mati dan juga ada yang disertai dengan minimum khusus. Bahkan UU-PTPK ini merupakan UU paling keras di Asia Tenggara dalam memberantas korupsi.[8]
Dalam UU-PTPK tersebut tercantum 30 macam tindak pidana korupsi yang dapat dibagi dalam 8 kelompk, yaitu :
a.    Korupsi  yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara :
1)   Pasal 2 ayat (1) :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup  atau pidana penjara paling singkat 4 tahun atau paling lama 20 tahun  dan denda paling sedikit  Rp. 200.000.000,- dan paling banyak Rp.1.000.000.000,-”
2)   Pasal 3 :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri-sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya atau kedudukannya yang dapat merugikan keuangan negara  atau perekonomian negara , dipidana penjara  seumur hidup  atau paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-.

b.    Korupsi yang terkait dengan Suap-Menyuap.
1)   Pasal 5 ayat (1) huruf a,
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negara atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya ;
2)   Pasal 5 ayat (1) huruf b,
3)   Pasal 5 ayat (2),
4)   Pasal 6 ayat (1) huruf a,
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili ;
5)   Pasal 6 ayat (1) huruf b,
6)   Pasal 6 ayat (2),
7)   Pasal 11,
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima tahun) dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui dan patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
8)   Pasal 12 huruf a,
9)   Pasal 12 huruf b,
10) Pasal 12 huruf c,
11) Pasal 12 huruf d.
12) Pasal 13,

c.    Korupsi yang terkait dengan Penggelapan dalam Jabatan.
1)   Pasal 8,
2)   Pasal 9,
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima tahun) dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
3)   Pasal 10 huruf a,
4)   Pasal 10 huruf b
5)   Pasal 10 huruf c.

d.    Korupsi yang terkait dengan Perbuatan Pemerasan.
1)   Pasal 12 huruf e,
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri ;      
2)   Pasal 12 huruf f ,
3)   Pasal 12 huruf g.

e.    Korupsi yang terkait dengan Perbuatan Curang.
1)   Pasal 7 ayat (1) huruf a,
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah), Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang ;
2)   Pasal 7 ayat (1) huruf b,
3)   Pasal 7 ayat (1) huruf c,
4)   Pasal 7 ayat (1) huruf d,
5)   Pasal 7 ayat (2),
6)   Pasal 12 huruf h.

f.     Korupsi yang terkait dengan Gratifikasi.
Pasal 12 B  jo. Pasal 12 C.
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya, dengan ketentuan sebegai berikut :
a.   Yang nilainya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
b.   Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum

g.    Korupsi yang terkait dengan Benturan kepentingan dalam pengadaan.
Pasal 12 huruf i.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Di samping itu, dalam UU-PTPK ini terdapat pula tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi, artinya tindak pidana itu sendiri bukanlah merupakan perbuatan korupsi namun tindak pidana itu ”bersentuhan” langsung dengan tindak pidana korupsi. Tindak pidana-tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut :
1). Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21) ;
2). Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (Pasal 22  jo. Pasal 28);
3). Bank yang tidak memberi keterangan rekening tersangka pelaku korupsi (Pasal 22  jo. Pasal 29);
4). Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu (Pasal 22  jo. Pasal 35);
5). Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu (Pasal 22  jo. Pasal 36) ;
6). Saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 jo. Pasal 31).
Dengan demikan, yang disebut sebagai tindak pidana korupsi tidaklah hanya perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan negara, namun juga perbuatan-perbuatan lain seperti penyuapan, penggelapan, pemerasan seperti yang tercantum dalam UU-PTPK tersebut di atas.

IV.     PENUTUP
Dalam upayanya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, Pemerintah Republik Indonesia memang telah menerbitkan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU-PTPK) yang mempunyai ancaman pidana sangat tinggi.
Namun peraturan atau ancaman pidana yang sangat tinggi dalam UU tersebut hanya merupakan suatu prevensi tidak langsung yaitu agar orang-orang takut untuk melakukan korupsi atau terpidana korupsi jera untuk mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Akan tetapi, yang terjadi kejahatan korupsi sendiri tetap berlangsung dengan “lancar” dan justru bermunculan dengan modus yang semakin canggih.
Dalam hal inilah, sebagai perangkat hukum pidana, UU-PTPK ini mempunyai kelemahan dalam menanggulangi korupsi sebagai suatu kejahatan. Sebagai suatu perundang-undangan pidana yang bersifat normatif sebagaimana perundangan pidana yang lain, maka UU-PTPK hanyalah merupakan suatu aturan tentang “siapa yang melakukan korupsi, perbuatan apa yang termasuk korupsi dan sanksi apa yang harus dijatuhkan terhadap pelaku korupsi”. Aturan tentang “mengapa korupsi itu terjadi dan bagaimana menghilangkan sebab korupsi” tidaklah diatur dalam UU-PTPK. Hal tersebut sebagaimana perundangan pidana yang lain, bahwa penggunaan hukum pidana (dalam hal ini UU-PTPK) hanyalah merupakan penanggulangan suatu gejala (kurieren am symptom) dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya. Oleh karena itu, UU-PTPK hanyalah merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan “pengobatan kausatif” terhadap kejahatan korupsi.
Jadi, penanggulangan kejahatan korupsi tidaklah terpaku pada penggunaan UU-PTPK saja, karena hal tersebut hanya akan bersifat fragmentair, parsial dan represif. Pemberantasan korupsi harusnya diarahkan pada upaya meniadakan (mengeliminir) dan memperbaiki keseluruhan kasus dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan korupsi.
Penanggulangan terhadap masalah korupsi ini, sebagaimana penanggulangan terhadap kejahatan yang membahayakan negara lainnya, seharusnya memang dilakukan secara integral dan komprehensif. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH menyatakan bahwa strategi dasar penanggulangan kejahatan (the basic crime prevention strategy), seyogyanya diarahkan pada upaya meniadakan (mengeliminir) atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kausa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan (korupsi).[9]
Strategi integral yang demikian diperlukan karena kausa dan kondisi yang dapat menjadi peluang timbulnya korupsi sangat kompleks, sehingga masalah korupsi sarat dengan berbagai kompleksitas masalah, antara lain masalah sikap moral, masalah sikap hidup dan budaya social, masalah lingkungan social dan kesenjangan social ekonomi, masalah system/budaya politik, masalah lemahnya birokrasi (termasuk system pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan public. Jadi kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi bisa terjadi di bidang moral, social, ekonomi, politik budaya, birokrasi administrasi dan sebagainya. Dalam hal inilah peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi mempunyai nilai yang sangat penting.


[1] Sam Santoso, dkk, The Art of Corruption, Lotus, Jakarta, 2003, hal xv.
[2] Mulyana W Kusumah, Aneka Permasalahn Dalam Ruang Lingkup Kriminologi, Alumni, Bandung, 1981, hal 78.
[3] J.E. Sahetapy, Viktimologi, Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, hal 27.
[4] Soedarso, Korupsi di Indonesia, Bhatara, Jakarta, 1996, hal 14.
[5] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana, 2002, hal. 4.
[6] Fockema Andreae, Kamus Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983.
[7] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976.
[8] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana, Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, 2002., hal. 69.
[9] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 130.

PS : Materi yang disampaikan dalam Diklat Prajabatan CPNS di Kalteng oleh Tim Penyaji dari Kejati Kalteng, terima kasih pak Joko.

related post



0 komentar:

Posting Komentar

sebenernya sih enggan, karena takut juga dengernya, tapi gimana lagi ntar dibilang melanggar HAM, ga' ngasih tempat buat protes, dah nulis ga' tanggung jawab.. okelah konstruktif, dekonstrukstif maupun dekstruktif sekali pun aku siap dengarnya.
thanks for comment..