21 Mei, 2011

Gerakan Mahasiswa -- sekilas!


Darimana kita mulai?
Pemuda adalah fase kehidupan seseorang yang sarat dengan perubahan. Suatu  masa dimana seseorang mempersiapkan atau bahkan resah dengan masa depannya sendiri. Pemuda secara kejiwaan berada dalam fase “mondig” artinya dia senantiasa berbuat untuk mencari jati dirinya. Oleh karena itu anak muda sering memiliki integritas tinggi dan semangat yang tinggi serta selalu berpikir normatif (memandang apa yang seharusnya) sehingga kadang sedikit kurang realistis. Karena memang anak muda tidak memiliki masalah dengan masa lalu (berbeda dengan orang tua yang sering ber-romantisme dengan masa lalu), yang ada ditangannya adalah masa depan. Mahasiswa adalah anak muda (kebanyakan) yang belajar di perguruan tinggi. Dikatakan sebagai inti kekuatan pemuda/pembaharu, karena memiliki ilmu pengetahuan yang lebih dibandingkan kawan-kawannya yang tidak mengecap pendidikan tinggi (kampus sering diartikan sebagai center of excelant). Adapun ciri-cirinya antara lain adalah pertama, dia relatif memiliki otonomi yang tinggi, tidak bergantung pada pihak manapun (walaupun untuk saat ini, kadang variabel orang tua dan pacar seringkali mempunyai dampak yang tidak bisa dibilang kecil, berbeda dengan gerakan mahasiswa masa lalu dimana variabel “keorangtuaan” dan “kepacaran” ini tidak begitu bermasalah); kedua, karena berpendidikan tinggi maka secara politis dia telah mengalami sosialisasi politik yang lebih tinggi, di kampusnya mereka mengalami akulturasi mengingat heterogenitas penghuni kampus. Kondisi tersebut memungkinkan transformasi dalam tataran nilai pada mahasiswa. Dengan ciri demikian, pemuda yang mahasiswa sering kali menjadi sosok yang sarat nilai, apalagi dalam konteks sosial. Kepekaan yang tinggi memungkinkannya menjadi kritis atas berbagai keadaan sosial.
 
Dari keresahan turun ke jalan...
Dalam tinjauan historis pemuda/mahasiswa dan pergerakan nasional merupakan fenomena yang tidak dapat dipisahkan. Pasang surutnya gerakan mahasiswa Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan peran-peran kelompok mahasiswa di masa lampau, yang membuat mahasiswa Indonesia memiliki identitas politik yang khas. Sebagaimana dikatakan Radjab (1991) sumber legitimasi politik mahasiswa pertama kali didapat dari Kebangkitan Nasional tahun 1908 dan Sumpah Pemuda tahun 1928. Pada waktu itu mahasiswa dipandang sebagai pelopor dan pemersatu bangsa. kemudian di masa Revolusi Kemerdekaan, mahasiswa dipandang sebagai pendobrak penjajahan dan pembela kemerdekaan Republik. Pada masa paska kemerdekaan identitas dan peran politik mahasiswa semakin diperkuat oleh keberhasilan protes-protes mahasiswa tahun 1966 yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dalam menumbangkan rezim Soekarno. Keberhasilan ini berarti menempatkan mahasiswa bersama militer dan teknokrat (Aliansi Segitiga) sebagai pendiri Orde Baru.

            Gerakan mahasiswa 1966 telah menjadi mitos sampai kini dimana ujung tombak kemenangan, demikian angkatan 1966 sering diidentifikasikan telah masuk dalam grand design elit yang menang. Akibatnya ketika Orde Lama tumbang dan Orde Baru masuk dalam pentas politik Indonesia, tidak ada alternatif desain yang ditawarkan gerakan mahasiswa, disamping itu aliansi segitiga (militer, teknokrat dan mahasiswa) kemudian pecah ketika terjadi disintegrasi dalam tubuh KAMI, menyusul persoalan: bagaimana mendefinisikan peran mahasiswa selanjutnya dalam sistem politik dan bagaimana seharusnya tugas dan masa depan eksponen angkatan 1966?
            Memasuki tahun 70-an mahasiswa menemukan perannya yang sesuai dengan predikat intelektual, yakni sebagai kekuatan moral. Artinya, mahasiswa bukan sebagai kelompok elit politik yang berusaha mendapatkan kekuasaan, melainkan sebagai kekuatan moral (moral force) yang secara aktif ikut berperan dalam mencapai cita-cita negara. Tugas utama dalam konsep ini adalah melakukan kritik terhadap keadaan sosial politik yang tidak benar. Dalam perjalanannya kemudian kritik-kritik ini terwujud dalam bentuk protes-protes seperti Gerakan Mahasiswa Menggugat, Gerakan Menentang TMII, Gerakan Golput, Komite Anti Korupsi dan lain-lain. dengan demikian mahasiswa tidak cuma keluar dari aliansi segitiga, tetapi juga mau tidak mau harus berhadapan dengan rezim Orde Baru yang terdiri atas militer dan teknokrat. Dalam menghadapi kritik tersebut, rezim bisa bertindak akomodatif bisa pula bersikap keras. Peristiwa Malari 1974 (Malapetaka 15 Januari 1974) secara nyata menunjukkan kalau rezim tidak segan-segan bertindak keras terhadap mahasiswa. Pemimpin-pemimpinnya dijebloskan dalam penjara dan organisasinya dibubarkan. Melalui peristiwa Malari, pemerintah berkesempatan melakukan tindakan dalam dua sisi. Terhadap organisasi mahasiswa intra-universiter, penguasa segera mengeluarkan SK Mendikbud No.028/1974 yang isinya mengharuskan mahasiswa untuk meminta izin rektor bila hendak melakukan kegiatan, sementara terhadap organisasi mahasiswa ektra-universiter (Omek) diharuskan bergabung dalam KNPI yang bersamaan dengan itu KNPI mulai dikembangkan di daerah-daerah. Pada tanggal 28 Oktober 1974 KNPI menyelengarakan Kongres I dan berhasil menyusun AD/ART. Sejak itu KNPI menjadi wadah tunggal dan Omek terserap di dalamnya.1
            Sepanjang tahun 1974-1976 aktifitas mahasiswa hanya diwarnai dengan protes terhadap SK No.028/1974 yang mencapai puncak pada 1976. Aktifitas politik mahasiswa muncul kembali pada pertengahan 1977 hingga awal 1978 bersamaan dengan pelaksanaan Pemilu dan Sidang Umum MPR. Isu utama yang dikembangkan adalah Demokrasi, tema yang cukup melekat dengan gerakan mahasiswa paska kemerdekaan. Menghadapi protes ini pemerintah mencoba dengan cara persuasif dengan mengutus para teknokrat ke beberapa perguruan tinggi untuk berdialog, namun yang terjadi adalah penolakan mentah-mentah kehadiran para teknokrat di tiga perguruan tinggi ternama yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gajah Mada (UGM). Gagal dengan cara persuasif, pertengahan bulan Januari 1978 tentara diperintahkan menduduki kampus dan melakukan penangkapan terhadap pemimpin gerakan, menyusul kemudian instruksi pembekuan Dewan Mahasiswa (DM) dan pelarangan Pers Mahasiswa.2
Gerakan mahasiswa tahun 1978 jelas menunjukkan bahwa kekuatan Negara Orde Baru semakin dominan dan sebaliknya kekuatan masyarakat melemah. Hal ini tercermin tidak adanya sambutan dari kelompok-kelompok politik lain terhadap upaya-upaya mahasiswa untuk melakukan perubahan politik. Mahasiswa sepanjang 1977-1978 mencoba mengoptimalkan peran sebagai moral force dengan menempatkan diri sebagai katalisator perubahan politik, yaitu sebagai ujung tombak perubahan. Gerakan yang menolak kehadiran Soeharto sebagai presiden ini ternyata tidak didukung oleh kekuatan-kekuatan lain sebagaimana diharapkan mahasiswa.

wtf with this policy...
Upaya-upaya sistematis dari pemerintah untuk mereduksi kekuatan politik mahasiswa makin gencar dengan dikeluarkannya SK No.0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) oleh Mendikbud Daoed Joesoef sesaat setelah dilantik tanggal 19 April 1978, guna menjinakkan kegiatan politik mahasiswa. SK itu sebenarnya merupakan pedoman normatif bagi penataan kampus yang selama ini olehnya disebut sebagai arena politik praktis. Menurut Daoed Joesoef sesuai dengan fungsi universitas, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian maka universitas bertugas untuk mencetak pekerja otak (knowledge worker) yang diperlukan bagi teknostruktur pembangunan, karena itu harus dihindari kampus sebagai arena politik.3
Secara konsep jelas NKK berniat membunuh aktifitas politik mahasiswa. hal ini semakin nyata ketika serangkaian kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengacu kepada NKK tersebut. Pertama adalah SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.037/U/1978 tentang Bentuk Penataan Kembali Kehidupan Kampus, dan kedua adalah Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi No.002/DJ/Inst/1978 tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Penataan Kembali Lembaga-lembaga Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
SK No.037/U/1978 secara implisit melarang dihidupkannya kembali DM dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat Fakultas yakni Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Sesuai NKK, SMF sebagai lembaga eksekutif kegiatannya dibatasi dalam tiga bidang yaitu: (1) bidang kesejahteraan mahasiswa; (2) bidang minat mahasiswa (kegemaran seperti olah raga dan keseniaan); dan (3) bidang pengembangan pemikiran mahasiswa. untuk tingkat nasional SMF hanya boleh membentuk ikatan mahasiswa sejenis dan yang paling penting dalam SK ini adalah pemberian kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa.4 Sedang Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi No.002/DJ/Inst/1978 tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Penataan Kembali Lembaga-lembaga Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi merupakan penjelasan teknis lebih lanjut terhadap pelaksanaan NKK. Instruksi ini sering disebut dengan BKK, karena di dalamnya memuat ketentuan dibentuknya Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Badan inilah yang bertugas mengawasi jalannya kegiatan kemahasiswaan.5
            Hadirnya NKK/BKK menyulut lagi protes-protes mahasiswa di beberapa perguruan tinggi, yang menarik kehadiran dari protes ini tanpa pengorganisasian dan kepemimpinan yang jelas, sebab DM sudah tidak ada lagi, kemarahan mahasiswa agaknya lebih banyak disulut oleh pers mahasiswa setelah diperkenankan hidup kembali. Dalam keadaan tidak terorganisir protes mulai melemah dan meredup bersamaan dengan dilarangnya kembali pers mahasiswa sejak pertengahan tahun1979.
            Tekad Orde Baru untuk mematikan aktifitas politik mahasiswa selanjutnya diemban oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, Mendikbud dalam Kabinet Pembangunan IV yang menggantikan Daoed Joesoef. Kalau dalam NKK/BKK Daoed Joesoef menganggap universitas sebagai pencipta manusia penganalisa yang siap memasuki teknostruktur, dalam konsep Wawasan Almamater-nya Nugroho menginginkan universitas sebagai lembaga yang melakukan institusionalisasi, profesionalisasi, dan transpolitisasi dalam rangka pembangunan. Sama halnya dengan NKK/BKK, konsep Wawasan Almamater bertujuan untuk mencegah aktifitas politik.6
            Ekses dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan Orde Baru sejak 1978, menurut Arbi Sanit (1989) setidaknya ada dua, pertama, birokratisasi kampus telah memunculkan para pemimpin universitas dan unit-unit universitas sebagai “raja kecil”. Mereka ini baik Rektor, Pembantu Rektor, Dekan, Pembantu Dekan memimpin kampus lebih mengandalkan kewenangan dan prosedur daripada argumentasi rasional. Kepemimpinan personal meningkat meninggalkan kepemimpinan institusional. kedua, tumbuhnya gejala apatisme dikalangan sivitas akademika. Dosen dibayang-bayangi perasaan takut berbuat salah sehingga hanya memusatkan perhatian mengajar daripada penelitian dan pengembangan ilmu. Sementara mahasiswa lebih memusatkan diri kepada penyelesaian studi, tanpa merasa perlu mengadakan pencernaan dan pematangan serta perluasan wawasan.

Beratnya Beban Sejarah...
            Situasi kampus yang adem ayem dan gejala apatisme politik mahasiswa tak urung mengaundang sejumlah gugatan, awalnya ketika mantan Menteri Agama yang juga Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Mukti Ali mengeluhkan soal “ketenangan” atau “diam”nya kampus. Padahal kata Mukti Ali diam itu tidak selalu berarti emas, “Diam itu Bau” katanya (Kompas : 27/2/87). Dengan analogi itu Mukti Ali bermaksud menggugat hilangnya dinamika kampus. Gugatan-gugatan seperti ini sebenarnya menunjukkan bahwa mahasiswa sebagai kelompok masih sangat diharapkan perannya dalam kehidupan sosial politik. Peran yang tentu tidak lepas dari peran-peran yang pernah disandang di masa-masa lalu; sebagai perintis kebangkitan nasional pada masa kolonial, sebagai pendobrak penjajahan pada masa revolusi, sebagai pendobrak establisment politik serta sebagai agen modernisasi pada masa paska kemerdekaan, dan setelah Orde Baru berdiri kelompok ini menempatkan diri sebagai moral force. Kini ketika mahasiswa dijangkiti apatisme ditengah-tengah establisment Orde Baru gugatan itu bermunculan. Pada dirinya peran-peran yang pernah disandang mahasiswa itu membuat mahasiswa angkatan 80-an menyandang beban sejarah.   
            Dalam situasi obyektif seperti itu, tak ada pilihan lain bagi mahasiswa yang terhindar dari belenggu apatisme kecuali merenungkan kembali peranan dan kedudukan mahasiswa serta melakukan otokritik terhadap gerakan mahasiswa sebelumnya. Karena itu aktifitas politik mahasiswa periode awal tahun 80-an lebih terkonsentrasi pada diskusi dan kontemplasi. Dengan demikian tujuan NKK yang menempatkan mahasiswa sebagai man of analisis berhasil. Dengan over birokratis-nya kampus, mahasiswa kemudian “lari” dari cengkeraman birokrasi kampus, dan di luar kampus mereka melakukan aktifitas yang dilihatnya sesuai dengan peran-peran yang pernah disandang oleh mahasiswa sebelumnya. Sebagian melakukan kegiatan yang berbasis intelektual, yakni Kelompok Studi, sementara sebagian yang lain melakukan praksis sosial untuk memecahkan berbagai persoalan kemasyarakatan, perumusan itu menemukan bentuknya ke dalam organisasi non pemerintah yang kemudian dikenal dengan nama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).7
            Adanya Kelompok Studi yang berbasis pada kegiatan intelejktual dan LSM yang mendasarkan diri pada praksis di lapangan, bukan berarti salah satu adalah pemimpin dari yang satunya karena sebenarnya tidak ada kesepakatan antara keduanya untuk berbagi fungsi  yang demikian, walaupun belakangan diketahui bahwa LSM akan lebih kuat jika dibarengi refleksi dan Kelompok Studi akan lebih praksis bila disertai aksi, namun sesungguhnya tidak bisa dielakkan bahwa kedua kelompok tersebut sering menimbulkan mental block.
            Namun lahirnya dua kelompok mahasiswa ini (kelompok studi dan LSM) sejak 1982 mulai mendapatkan kritik. Kritik ini semakin tajam pada tahun 1986, ketika mulai muncul forum-forum diskusi yang melibatkan banyak kelompok mahasiswa. inti kritik itu adalah baik kelompok studi maupun LSM kegiatannya dinilai ekslusif dan sama-sama bergerak di luar kampus sehingga aktifitas itu tak menyentuh mahasiswa secara keseluruhan. Karena itu kalau mahasiswa ingin melakukan peran yang lebih berarti mau tidak mau harus kembali ke kampus, sebab kampus adalah satu-satunya basis dari gerakan mahasiswa. namun dalam situasi dalam kampus yang dililit birokrasi, apa yang bisa dilakukan? Mahasiswa tampaknya mendapatkan salurannya pada aktifitas pers mahasiswa di awal tahun 1986. Hal ini terlihat dari sejumlah aktifis kelompok studi dan LSM yang kemudian terlibat dalam pendirian pers mahasiswa, atau paling tidak mereka membantu sepenuhnya usaha-usaha menghidupkan kembali pers mahasiswa. pers mahasiswa tidak melulu menerbitkan majalah atau koran, diskusi dan seminar merupakan agenda mereka disamping kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi para pengelola, dari forum-forum diskusi itulah pers mahasiswa bersama kelompok studi, LSM, Sema/BPM dan jebolan Omek mencoba membangkitkan kesadaran dan keberanian untuk bersikap kritis dikalangan mahasaiswa. Dampaknya protes-protes bermunculan kembali pada akhir 1987. Sebagai akibat dari diskusi-diskusi itu aktivis pers mahasiswa tidak boleh mendirikan kembali organisasi pers mahasiswa nasional yakni Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) sebab pemerintah menganggap penggerak protes mahsiswa yang mulai muncul pada akhir 1987 itu adalah aktivis mahasiswa.8
            Pada awalnya protes-protes yang muncul pada tahun 1987 bersumber dari masalah intern kampus, misalnya Universitas Nomensen Medan memprotes ketidakberesan kampusnya, Unas Jakarta menggugat Rektornya, kemudian merambat antara lain Unmuh Solo, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, ITB, UII, UMY dll. Kemudian dalam rangka memperingati hari HAM 10 Desember 1987 dua kelomok pers mahasiswa di Yogyakarta, UGM dan UII menyelenggrakan Mimbar Bebas. Pada tanggal 31 Desember 1987 dalam rangka menyambut tahun baru sejumlah aktivis pers mahasiswa, kelompok studi, LSM, organisasi intra, jebolan Omek dari Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Salatiga, Surakarta, Malang dan Surabaya berkumpul di Pantai Parang Tritis, Yogyakarta. Mereka bertukar pikiran dan konsolidasi dalam usaha mengadakan protes bersama.
            Seperti dicatat Pangestu, protes-protes nahasiswa tahun 80-an setidaknya mengangkat lima isu yaitu: pertama, isu tentang masalah intern kampus seperti penolakan dekan/rektor, kenaikan SPP, mutu pendidikan dll (1987); kedua, isu tentang depolitisasi kampus seperti pelaksanaan NKK/BKK, kebebasan mimbar, kebebasan akademik, otonomi kampus (1988); ketiga, isu lokal yang berupa ekses pembangunan di daerah atau penyalahgunaan wewenang oleh pejabat di daerah seperti kasus tanah Badega, Cimacan, Kacapiring, Kedung Ombo dan penggalian pasir di Mojokerto (1989); keempat, isu nasional yang bersifat membela atau memperjuangkan kepentingan rakyat banyak seperti kenaikan tarif listrik dan peredaran  kupon KSOB/TSSB, kelima, isu yang bersifat merespon terhadap tindak kekerasan aparat pemerintah, seperti anti kekerasan.
            Melihat isu yang diangkat mahasiswa angkatan 80-an sangat beragam dan kasuistik, tampak memiliki kesamasamaan dengan mahasiswa tahun 1966,9 yakni gerakan yang memiliki sasaran yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan politik saat itu. Awalnya mahasiswa hanya menentang PKI, memprotes soal kenaikan harga-harga lalu belakangan ikut aktif menumbangkan Soekarno. Gerakan tahun 1966 juga tidak punya landasan ideologi, ideologi baru dibangun bersama-sama mahasiswa, militer dan teknokrat setelah Soekarno tumbang. Satu yang membedakan antara mahasiswa 1966 dengan 1980-an adalah tiadanya pendukung dari gerakan yang terakhir, karena itu posisinya sangat lemah.
            Protes yang terjadi mulai dari 1987 terjadi salah satunya karena mahasiswa berhasil memanfaatkan peluang akibat melemahnya kekuatan negara akibat terjadinya friksi elit. Jika pada paruh pertama tahun 1989 dan sebelumnya aparat militer banyak memberikan angin bahkan “dukungan” terhadap protes mahasiswa, memasuki paruh kedua 1989 berubah menjadi tekanan keras. Sebelum tekanan itu dilancarkan, usaha meredam protes-protes mahasiswa diawali dengan pelarangan media massa memuat protes mahasiswa. pada tanggal 25 April 1989 Menteri Penerangan Harmoko memanggil enam pemimpin redaksi media ibukota, yaitu Kompas, Terbit, Media Indonesia, Tempo dan Jakarta-jakarta. Mereka mendapatkan peringatan keras secara lisan atas pemberitaan protes mahasiswa. Sejak saat itu media massa diminta untuk tidak memuat sama sekali tulisan maupun komentar atas protes-protes mahasiswa. pusat penerangan ABRI kemudian juga mengeluarkan siaran pers dan menegaskan bahwa demonstrasi termasuk perbuatan yang dilarang.10
            Memasuki tahun 1990 NKK/BKK berakhir dengan diterbitkannya SK Mendikbud No. 0457/U/1990 tentang Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) oleh Mendikbud Prof, Dr. Fuad Hasan. Semula beberapa perguruan tinggi menolak konsep SMPT ini termasuk Forum Komunikasi SM-BPM Universitas Indonesia. alasan-alasan penolakan terhadap SMPT antara lain (1). SMPT tidak mengakar ke mahasiswa umumnya, tidak populi; (2). Hubungan SMPT dengan lembaga lainnya seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) hanya bersifat koordinatif sehingga suara tidak menyatu, mudah terpecah belah; (3). SMPT dijadikan ajang permainan elit mahasiswa; (4) SMPT tidak mandiri, tidak otonom dan tidak independen karena berada dibawah kekuasaan rektorat yang berhak ikut campur dalam persoalan SMPT. SMPT dianggap sebagai upaya kooptasi birokrat kampus sebagian lagi menilai SMPT perpanjangan NKK/BKK yang berubah bentuk.
Sejumlah alasan tersebut telah diungkapkan pada awal tahun 1990-an. Dari sinilah aktivis mahasiswa intra kampus terbelah kembali. Namun, sebagian besar kampus-kampus di Indonesia akhirnya menerima SMPT dengan beberapa catatan. Alasan utama penerimaan SMPT itu adalah adanya celah dalam pasal 16 ayat 2 dari SK Mendikbud ini yang menyatakan bahwa petunjuk teknis pelaksanaan keputusan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi. Dengan modal ini, aturan main SMPT ditentukan oleh institusi perguruan tinggi masing-masing.Aktivis intra kampus akhirnya bermain diantara celah-celah yang hasilnya dapat dilihat dengan keberadaan SMPT yang berbagai macam bentuk dan strukturnya. Misalnya SM UGM, mempunyai kongres yang membawahi SMPT, UKM dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) secara sejajar. Ada mekanisme legislatif-eksekutif, SM UI mengambil celah melalui pemisahan tugas antara Ketua Umum SMPT, yang bertindak sebagai legislatif, dan Ketua Harian SMPT, sebagai eksekutif. Pola pemilihan di SM UI mengalami berbagai perubahan. Dalam usianya yang masih muda itu, tampaklah SMPT mulai kelihatan berperan dalam berbagai isu lokal maupun nasional. SM UGM yang memajukan soal lembaga kepresidenan, SM UI yang mengusulkan rancangan GBHN adalah contoh gerakan yang strategis dilakukan SMPT pada awal berdirinya. SMPT-SMPT juga mengedepankan persoalan korupsi dan kolusi, mengajukan proposal perlunya pembatasan monopoli dan seterusnya. Selain itu, sebagian pimpinan SMPT terlibat dalam pengorganisasian komite-komite mengetengahkan isu-isu tertentu yang tidak bisa membawa nama lembaga. Termasuk dalam kasus SDSB, pimpinan-pimpinan SMPT aktif memimpin massa mahasiswa.
Pada akhir tahun 1994 setelah Kongres IV mahasiswa UGM muncul Dewan Mahasiswa (DM) yang dianggap sebagai alternatif SMPT. Nama "DM" dipinjam dari Dewan Mahasiswa yang ada pada 1970-an, yang dibekukan tahun 1978. Upaya sosialisasi DM dilakukan di berbagai kota agar terwujud DM-DM di kota lain. Aktivis DM mengemukakan gagasan-gagasan dan kritik-kritik tajam terhadap SMPT yang sebagian besar telah disadari oleh aktivis SMPT ketika menerima SMPT. DM mendefinisikan dirinya sebagai antitesa terhadap kelemahan-kelemahan SMPT. Pertama, DM mengklaim mempunyai basis massa dan memang dikehendaki oleh mahasiswa, tidak seperti SMPT yang elitis dan menggantung ke atas. Kedua, lembaga DM mempunyai otonomi penuh, independensi yang tidak bisa dicampuri rektorat, tidak seperti SMPT yang bertanggungjawab pada rektorat. Hubungan DM bersifat sejajar dengan rektorat. Dan seterusnya. kepedulian terhadap masalah otonomi, independensi dan berbagai kelemahan SMPT sebenarnya juga dirasakan aktivis SMPT tetapi persoalannya adalah apakah DM merupakan alternatif? Jawabnya ternyata tidak, dan kehadiran DM malah membuat mahasiswa terpecah belah lagi dan menjadi tidak strategis. pun DM menjadi lembaga elitis.


1 Politik departaisasi yang dijalankan Orde Baru, maka organisasi ekstra-universiter seperti HMI, PMKRI, GMKI, GMNI, PMII dan lain-lain mulai dieliminasi pengaruhnya di kampus. Untuk menarik pengaruh Omek tersebut pada tanggal 23 Juli 1973 dibentuk Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), sebuah organisasi korporasi yang ditujukan kepada mahasiswa menyusul wadah tunggal lain bagi kaum Tani (HKTI), kaum Nelayan (HNSI), dan Buruh (FBSI). Dengan adanya KNPI, eksistensi mahasiswa sebagai kekuatan politik tidak diakui lagi dan selanjutmnya eksistensinya dilebur menjadi satu bersama kaum muda lainnya. Pendirian KNPI yang dirintis usai Pemilu 1971 lewat Golkar dengan tokohnya Median Sirait, sebenarnya sudah mendapat perlawanan dari Omek-omek yang secara teratur melakukan diskusi bersama. Sejak tanggal 20 januari 1972 forum diskusi itu dinamakan dengan Kelompok Cipayung yang beranggotakan HMI, PMKRI, GMKI, GMNI, dan PMII. 
2 setelah kejadian itu kebijakan depolitisasi diterapkan secara lebih sistematis. Secara formal KNPI diakui sebagai wadah tunggal organisasi pemuda dalam GBHN hasil Sidang Umum MPR 1978. Dan dalam Kabinet Pembangunan III pemerintah melaksanakan program pembinaan generasi muda, karena itu ditambah satu jabatan menteri, yakni Menteri Muda Urusan Pemuda yang kemudian dijabat oleh Abdul Gafur. Sementara terhadap organisasi intra-universiter langkah-langkah pengendalian dilancarkan lewat SK Pangkopkamtib No.02/Kopkam/I/1978 tertanggal 21 Januari 1978 yang membekukan Dewan Mahasiswa. SK Pangkopkamtib ini diperkuat pelaksanaannya lewat Instruksi Mendikbud No. 1/U/1978 yang ditandatangani oleh Sjarif Thajeb pada tanggal 31 januari 1978. 
3 Daeod Joesoef menulis: Dipandang dari kedudukannya yang sangat istimewa di dalam generasi muda... tanggungjawab esensiil mahasiswa adalah... membangkitkan kekuatan penalaran individual (the individual power of the reason)... dengan begini berarti bahwa mahasiswa pada hakekatnya bukanlah “manusia rapat umum”, tetapi manusia penganalisa (man of analysis). (Dep,1979:5)
4 Sepenggal bunyi SK itu: Lembaga-lembaga kemahasiswaan yang didasarkan pada ketiga jenis kebutuhan mahasiswa itu, tanggung jawab mengenai pembentukan, pengarahan dan perkembangannya berada ditangan Rektor Universitas c.q. Pembantu Rektor III (urusan kemahasiswaan). (Dep, 1979:10)
5 Bagian kesepuluh dari Instruksi Dirjen itu berbunyi: (1) Di tingkat Universitas/Institut dibentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan yang diketuai oleh Pembantu Rektor III dan beranggotakan Pembantu Dekan III, Staf ahli yang terdiri dari Dosen-dosen Pembimbing, serta tokoh-tokoh mahasiswa yang dianggap mengetahui seluk beluk masalah kemahasiswaan di perguruan tinggi yang bersangkutan. (2) BKK membentuk unit-unit kegiatan kemahasiswaan dalam bidang-bidang: Kesejahteraan, Minat dan Perhatian mahasiswa, serta pengembangan penalaran mahasiswa. (3) Ketua, Sekretaris dan Anggota BKK diangkat dengan SK Rektor. (4) Ketua dan Sekretaris unit-unit kegiatan mahasiswa diangkat oleh Ketua BKK dengan persetujuan Rektor. (Dep, 1979:10)
6 Nugroho Notosusanto menyatakan : dengan demikian setiap sivitas akademika bebas untuk berpolitik sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Namun kegiatan itu harus dilakukan di luar kampus dan tidak boleh membawa-bawa nama Universitas Indonesia. di dalam lingkungan Universitas Indonesia dan di dalam kampus-kampus Universitas Indonesia tidak boleh dilakukan politicking atau kegiatan politik... yang harus dilakukan adalah upaya transpolitisasi yaitu kegiatan memberi kesadaran politik melalui pendidikan politik (kepada sivitas akademika khususnya para mahasiswa) supaya yang bersangkutan pada suatu pihak dapat berpolitik sebaik-baiknya jika hal itu memang diinginkan, akan tetapi dilain pihak kegiatan politiknya itu tidak boleh dilakukan di dalam kampus dan tidak boleh mengatasnamakan Universitas Indonesia atau salah satu unsurnya....(1985:22). konsep Wawasan Almamater ditelorkan ketika Nugroho Notosusanto menjadi Rektor Universitas Indonesia sejak 15 Januari 1982. Pada 16 Maret 1983 ia ditunjuk menjadi Mendikbud dan sejak itu Konsep Wawasan Almamater-nya berlaku di seluruh Indonesia.
7 Aktivis Kelompok Studi mengidentifikasikan dirinya dengan mahasiswa pada masa kolonial yang memang aktif mengadakan kegiatan diskusi seperti Betawi studieclub, Indonesiche studieclub, Internationale studieclub, Algemeine studieclub dll. Namun seperti yang dituturkan Denny JA ada perbedaan fundamental diantara keduanya yakni mahasiswa tahun 20-an menempati  posisi sentral dalam masyarakat karena mereka adalah generasi pertama kaum terpelajar pribumi sedang mahasiswa tahun 80-an adalah kelompok marjinal yang kehadirannya tidak lagi berarti secara politik. Kalau kelompok studi tahun 20-an bertujuan meletakkan landasan bagi perjuangan kemerdekaan sedang kelompok studi tahun 80-an hanya sekadar melakukan intelectual exercise dalam rangka memahami persoalan politik yang sedang berlangsung. Kalau aktifis kelompok studi bergulat dalam pemahaman konseptual yang abstrak, maka aktifis LSM mengidentifikasikan dirinya tidak hanya sebagai pemecah masalah-masalah sosial nyata, tetapi juga sebagai aktor yang melakukan aksi penyadaran terhadap masyarakat yang tidak terjamah oleh pembangunan atau malah menjadi korban dari pembangunan.
8 Jauh hari sebelumnya Mendikbud Prof, Dr. Fuad Hasan pernah memberi peringatan agar pers mahasiswa tidak menjadi wahana sikap kontra. “jangan sampai pers mahasiswa menjadi sumber keresahan atau keonaran” katanya (Kompas: 5/5/87)
9 Berbeda dengan angkatan 1908 dan 1945 yang berideologi Nasionalisme  dan mempunyai orientasi yang jelas yakni kebangkitan nasional dan kemerdekaan bangsa,  walaupun gerakan mahasiswa tahun 1974 dan 1978 tidak punya ideologi  yang jelas, namun paling tidak punya orientasi dan sasaran yang pasti. Gerakan mahasiswa 1974 menggugat strategi pembangunan ekonomi nasional, gerakan mahasiswa tahun 1978 secara politis bertujuan menyingkirkan Soeharto dari kursi kekuasaan.  
10 Siaran itu antara lain menyatakan: Khusus terhadap perbuatan pengungkapan isi hati atau perasaan, yang dilakukan dalam bentuk demonstrasi atau unjuk rasa secara demonstratif, yang termasuk dalam bentuk kegiatan yang dilarang menuntut ketentuan tentang larangan melakukan demonstrasi, sebagaimana tertuang dalam Pengumuman Pangkopkamtib No. 001/Kopkam/1/1970 tanggal 22 Januari 1970 yang hingga kini belum dicabut, jelas merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. (Stanley, 1994).

PS :  Tulisan waktu masih di jalan...

related post



0 komentar:

Posting Komentar

sebenernya sih enggan, karena takut juga dengernya, tapi gimana lagi ntar dibilang melanggar HAM, ga' ngasih tempat buat protes, dah nulis ga' tanggung jawab.. okelah konstruktif, dekonstrukstif maupun dekstruktif sekali pun aku siap dengarnya.
thanks for comment..