22 Mei, 2011

SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA DAN PERCEPATAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

SELAYANG PANDANG TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang mengatakan bahwa hukum pidana merupakan the older philosophy of crime control.[1] Sampai saat ini pun, hukum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu sarana politik kriminal.[2] Hal tersebut dapat dilihat dari adanya ancaman pidana pada hampir setiap produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara ini, meskipun produk perundang-undangan tersebut tidak termasuk dalam perundang-undangan yang tidak mengatur secara spesifik tentang suatu tindak pidana, seperti UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan sebagainya. Dengan demikian, hukum pidana hampir selalu digunakan untuk “menakut-nakuti” atau mengamankan berbagai kebijakan yang timbul di berbagai bidang terutama dalam menanggulangi kejahatan. Fenomena tersebut memberi kesan seolah-olah suatu peraturan akan kurang sempurna atau “hambar” apabila tidak disertai dengan ketentuan pidana.

KORUPSI DAN PENGATURANNYA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA


I.          PENDAHULUAN
Korupsi !!! Pejabat di Instansi ini korupsi !!! Proyek ini sarat dengan korupsi !!! Barang-barang mewah itu hasil dari korupsi !!!
Kalimat-kalimat di atas mungkin sudah sering kita peroleh, baik dari media masa maupun dari media audio visual yang sehari-hari hadir di hadapan kita. Sehingga frasa ”korupsi” sudah seperti hal yang biasa saja di telinga kita, sedangkan sesungguhnya korupsi merupakan suatu hal luar biasa dan pada saat ini, korupsi sudah menjadi masalah global antar negara yang tergolong kejahatan transnasional. Bahkan atas implikasi buruk multidimensi terhadap kerugian ekonomi dan keuangan negara yang besar, maka korupsi digolongkan sebagai extra ordinary crime sehingga pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas agenda pemerintahan hampir semua negara di dunia untuk ditanggulangi secara serius.
Tranparancy International, sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional yang concern terhadap penanganan kasus korupsi memberikan sebuah report bahwa  pada tahun 1999 Indonesia tergolong negara terkorup dari 41 negara yang diamati, yang diamati menyusul tahun 1996-2000, Indonesia tidak pernah beranjak dari dari kategori lima besar negara terkorupsi di dunia. Sedangkan menurut Political and Economic Risk Colsultacy (PERC) sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang popular di Asia, dalam kurun waktu tahun 2002 – 2004, Indonesia merupakan negara yang terkorup di benua Asia.[1] Tak pelak lagi Indonesia mendapatkan stigma sebagai negara yang termasuk ‘jagonya’ korupsi, dan menjadi surga para koruptor.

di TITIK NOL

...kembalilah kedalam rahim
segala tangis dan kebusukan
dalam sunyi yang mengiris
tempat orang-orang mengingkari
menahan ucapannya sendiri...
(Wiji Thukul, 1988) 

Dengan mantapnya korek gas itu membakar ujung batang rokok terakhir yang memiliki “kenikmatan tinggi sejak 1913” itu, gelap meredup sejenak, tampak tatapan hampa sipenghuni. kepulan asap yang pasti tidak sama layaknya kereta api pun menyusul setelah hisapan dalam, sebuah kegundahan. Kamar berukuran 2x3 m. itu tentu saja cukup kecil untuk sebuah cita raksasa yang terus menusuk pikiran, meminta satu kerja nyata guna mengejawantahkan dirinya keluar, cita itu menuntut, cita itu memaksa..! keheningan yang ada, tidaklah sama seperti keheningan pesta yang telah usai karena keheningan itu tidak berangkat dari satu keramaian, keheningan itu tidak berawal dan tidak pula berakhir! keheningan itu... keheningan itu... rumit dan susah untuk digambarkan sama rumit dan susahnya menjelaskan hitam yang ada. Dia memang tak bersuara, tapi dia tidak diam.

21 Mei, 2011

Gerakan Mahasiswa -- sekilas!


Darimana kita mulai?
Pemuda adalah fase kehidupan seseorang yang sarat dengan perubahan. Suatu  masa dimana seseorang mempersiapkan atau bahkan resah dengan masa depannya sendiri. Pemuda secara kejiwaan berada dalam fase “mondig” artinya dia senantiasa berbuat untuk mencari jati dirinya. Oleh karena itu anak muda sering memiliki integritas tinggi dan semangat yang tinggi serta selalu berpikir normatif (memandang apa yang seharusnya) sehingga kadang sedikit kurang realistis. Karena memang anak muda tidak memiliki masalah dengan masa lalu (berbeda dengan orang tua yang sering ber-romantisme dengan masa lalu), yang ada ditangannya adalah masa depan. Mahasiswa adalah anak muda (kebanyakan) yang belajar di perguruan tinggi. Dikatakan sebagai inti kekuatan pemuda/pembaharu, karena memiliki ilmu pengetahuan yang lebih dibandingkan kawan-kawannya yang tidak mengecap pendidikan tinggi (kampus sering diartikan sebagai center of excelant). Adapun ciri-cirinya antara lain adalah pertama, dia relatif memiliki otonomi yang tinggi, tidak bergantung pada pihak manapun (walaupun untuk saat ini, kadang variabel orang tua dan pacar seringkali mempunyai dampak yang tidak bisa dibilang kecil, berbeda dengan gerakan mahasiswa masa lalu dimana variabel “keorangtuaan” dan “kepacaran” ini tidak begitu bermasalah); kedua, karena berpendidikan tinggi maka secara politis dia telah mengalami sosialisasi politik yang lebih tinggi, di kampusnya mereka mengalami akulturasi mengingat heterogenitas penghuni kampus. Kondisi tersebut memungkinkan transformasi dalam tataran nilai pada mahasiswa. Dengan ciri demikian, pemuda yang mahasiswa sering kali menjadi sosok yang sarat nilai, apalagi dalam konteks sosial. Kepekaan yang tinggi memungkinkannya menjadi kritis atas berbagai keadaan sosial.
 
Dari keresahan turun ke jalan...
Dalam tinjauan historis pemuda/mahasiswa dan pergerakan nasional merupakan fenomena yang tidak dapat dipisahkan. Pasang surutnya gerakan mahasiswa Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan peran-peran kelompok mahasiswa di masa lampau, yang membuat mahasiswa Indonesia memiliki identitas politik yang khas. Sebagaimana dikatakan Radjab (1991) sumber legitimasi politik mahasiswa pertama kali didapat dari Kebangkitan Nasional tahun 1908 dan Sumpah Pemuda tahun 1928. Pada waktu itu mahasiswa dipandang sebagai pelopor dan pemersatu bangsa. kemudian di masa Revolusi Kemerdekaan, mahasiswa dipandang sebagai pendobrak penjajahan dan pembela kemerdekaan Republik. Pada masa paska kemerdekaan identitas dan peran politik mahasiswa semakin diperkuat oleh keberhasilan protes-protes mahasiswa tahun 1966 yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dalam menumbangkan rezim Soekarno. Keberhasilan ini berarti menempatkan mahasiswa bersama militer dan teknokrat (Aliansi Segitiga) sebagai pendiri Orde Baru.