22 Mei, 2011

SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA DAN PERCEPATAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

SELAYANG PANDANG TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang mengatakan bahwa hukum pidana merupakan the older philosophy of crime control.[1] Sampai saat ini pun, hukum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu sarana politik kriminal.[2] Hal tersebut dapat dilihat dari adanya ancaman pidana pada hampir setiap produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara ini, meskipun produk perundang-undangan tersebut tidak termasuk dalam perundang-undangan yang tidak mengatur secara spesifik tentang suatu tindak pidana, seperti UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan sebagainya. Dengan demikian, hukum pidana hampir selalu digunakan untuk “menakut-nakuti” atau mengamankan berbagai kebijakan yang timbul di berbagai bidang terutama dalam menanggulangi kejahatan. Fenomena tersebut memberi kesan seolah-olah suatu peraturan akan kurang sempurna atau “hambar” apabila tidak disertai dengan ketentuan pidana.


Aplikasi atau penegakan hukum pidana yang tersedia tersebut dilaksanakan oleh instrumen-instrumen yang diberi wewenang oleh Undang Undang untuk melaksanakan kewenangan dan kekuasaannya masing-masing dan harus dilakukan dalam suatu upaya yang sistematis untuk dapat mencapai tujuannya. Upaya yang sistematis ini dilakukan dengan mempergunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan (interelasi), serta saling mempengaruhi satu sama lain. Upaya yang demikian harus diwujudkan dalam sebuah sistem yang bertugas menjalankan penegakan hukum pidana tersebut, yaitu Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sytem) yang pada hakikatnya merupakan “sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana”[3].

Oleh karena itu, setiap aparat dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) harus selalu mengikuti perkembangan dari setiap perundang-undangan yang terbit karena aparat dalam sistem peradilan pidana tersebut “menyandarkan” profesinya pada hukum pidana dalam upaya mengantisipasi kejahatan yang terjadi.
Sistem Peradilan Pidana ini diwujudkan / diimplementasikan dalam 4 (empat) sub sistem, yaitu : 
1. Kekuasaan “Penyidikan” oleh lembaga penyidik;
2. Kekuasaan Penuntutan oleh lembaga penuntut umum;
3. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan oleh badan pengadilan;
4. Kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana oleh badan/aparat pelaksana/eksekusi.[4]

Masing-masing kekuasaan yang merupakan sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana tersebut merupakan kekuasaan yang merdeka/independent dalam arti bebas dari pengaruh penguasa atau dari tekanan dari pihak luar. Akan tetapi kemandirian tersebut tidak bersifat parsial (fragmenter), tetapi kemandirian dalam satu sistem, yaitu Sistem Peradilan Pidana yang integral (Integrated Criminal Justice System).[5] Adapun implementasi dari masing-masing sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana tersebut adalah sebagai berikut :

1.  Kekuasaan Penyidikan oleh lembaga penyidik;
Berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka, maka yang dimaksud dengan Penyidik adalah Pejabat Polisi Negera Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Dengan demikian, secara umum yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan suatu tindak pidana adalah Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), namun untuk tindak pidana tertentu ada juga lembaga lain yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, seperti :
·      Kejaksaan untuk Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana HAM ;
·      Aparat Dirjen Pajak untuk Tindak Pidana Perpajakan ;
·      Aparat Bea Cukai untuk Tindak Pidana Kepabeanan ;
·      Aparat Kehutanan untuk Tindak Pidana Kehutanan.
2.  Kekuasaan Penuntutan oleh lembaga penuntut umum.
Apabila dalam Kekuasaan Penyidikan, terdapat beberapa lembaga yang dapat melakukan penyidikan, maka dalam menjalankan kekuasaan penuntutan hanya satu lembaga yang berwenang melaksanakan yaitu lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam Ketentuan Umum KUHAP angka 6 dan angka 7 serta tecantum pula dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada  Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang Undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.”
3.  Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan oleh badan pengadilan;
Yang dimaksud dengan Kekuasaan mengadili sebagaimana diatur dlam Pasal 1 angka 9 KUHAP adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang undang ini. Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 angka 8 KUHAP, yang diberi wewenang ini adalah Hakim sebagai Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
4.  Kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana oleh badan/aparat pelaksana/eksekusi.
Kekuasaan ini dimiliki oleh Jaksa Penuntut Umum karena di samping berwenang melaksanakan penuntutan, Jaksa Penuntut Umum juga berwenang melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal tersebut diatur dalam Ketentuan Umum KUHAP Pasal 1angka 6 dan angka 7 serta juga diatur dalam Pasal 30 Undang Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Dengan demikian dalam proses penegakan hukum pidana, unsur-unsur sistem peradilan pidana meliputi : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat unsur inilah yang merupakan sub-sistem dari sistem peradilan pidana, sehingga keberhasilan upaya penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh keterkaitan dan ketergantungan keempat unsur tersebut. Oleh karena itu, Yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana dapat juga dikatakan sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana.[6]

SISTEM PERADILAN PIDANA DAN PERCEPATAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA.

Bila sebelumnya dalam konsiderans menimbang UU Nomor 31 Tahun 1999 dikatakan bahwa korupsi selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional, maka dalam konsiderans menimbang UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa bahkan disebutkan bahwa korupsi merupakan ”pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas”, dengan begitu tidak salah bila kita katakan bahwa ”korupsi merupakan pelanggaran HAM”[7] atau ”kejahatan terhadap kemanusiaan”.

Oleh karena Tindak Pidana Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) maka penanganannya pun kemudian membutuhkan perhatian yang serius dan luar biasa pula. Dalam  hal ini, Pemerintah Indonesia juga telah memperlihatkan keseriusannya dalam percepatan pemberantasan korupsi di Indonesia. Keseriusan itu terlihat dengan dikeluarkannya berbagai macam kebijakan baik dalam hal pencegahan (preventif) maupun penanganan (represif) tindak pidana korupsi, antara lain :

1.    UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
2.      UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
3.    UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruptions, 2003 (konvensi PBB Anti Korupsi, 2003[8]);
4.      UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
5.      PP Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara;
6.      PP Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantas Tindak Pidana Korupsi;
7.     PP Nomor 71 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
8.      TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
9.  TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
10.  Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
11.  Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
12.   Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
13.   Petunjuk Pelaksanaan Bersama Jaksa Agung RI dan Kepala BPKP Nomor : Juklak-001/JA/2/1989 Nomor KEP-145/K/1989 tentang Upaya Memantapkan Kerja Sama Kejaksaan dan BPKP dalam Penanganan Kasus yang Berindikasi Korupsi
14.  Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-102/JA/05/2000 tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
15.  Surat Edaran Nomor : SE-007/A/JA/11/2004 Tanggal 26 Nopember 2004 Tentang Percepatan Proses Penanganan Perkara-Perkara Korupsi se-Indonesia;
16. Keputusan Bersama Ketua KPK dan Jaksa Agung RI Nomor : KEP-1 11212005 Nomor KEP-IAIJ.A11212005 Tentang Kerja sama Antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan Republik Indonesia dalam rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
17.  Kepu­tusan Menko Polhukam Nomor: Kep-54/Menko/Polhu­kam/12/2004 tanggal 17 de­sember 2004 dan telah beberapa kali diper­ba­harui. Terakhir dengan Kepu­tusan Menko Pol­hukam nomor : Kep-05/Menko/Polhukam/01/2009 tanggal 19 Januari 2009 tentang susunan keanggotaan tim terpadu pen­cari terpidana dan tersangka perkara tindak pidana korupsi atau yang dikenal dengan Tim Pemburu Koruptor.

Bahwa selain itu juga :
18.   Ditandatanganinya Memori of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman tentang Kerjasama Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara dan Dana Nonbudgeter.Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi antara Jaksa Agung, Hendarman Supandji, Kapolri, Jendral Polisi Drs. Sutanto dan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Didi Widayadi pada 28 September 2007, dimana kesepahaman tersebut kemudian dilanjutkan baik di tingkat propinsi yakni antara Kajati, Kapolda dan Kepala Perwakilan BPKP provinsi diikuti Kajari dan Kapolres seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
19.  Banyak diberikannya ijin penahanan terhadap para pejabat seperti Kepala Daerah atau Anggota DPRD baik di Propinsi maupun Kabupaten/Kota, yang sebelumnya terkesan untouchable by the law (tidak tersentuh oleh hukum).
20. Bahwa pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi baik ditingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan menjadi prioritas dan diutamakan, dimana penanganannya di dahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya..

Namun apabila memperhatikan Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 maka terdapat lembaga lain yang berwenang dalam hal penanganan perkara tindak pidana korupsi di luar Sistem Peradilan Pidana yang ada di Indonesia selama ini yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor). Dalam hal ini, KPK dan Tim Tastipikor sudah cukup banyak mengungkap kasus-kasus korupsi kelas kakap di Indonesia seperti kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum Pusat, Kasus korupsi pengadaan helikopter buatan Rusia di Propinsi NAD, kasus korupsi Dana Abadi Umat di Departemen Agama, kasus korupsi pembobolan Bank Mandiri, kasus korupsi Dana Non Budgeter di Departemen Perikanan dan Kelautan dan yang paling mutakhir adalah pengusutan kasus korupsi oleh KPK terhadap pengadaan tanah untuk pembangunan Bandar Udara di Tenggarong (Kaltim)

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) Sebagai “Super Body” Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan terbitnya Undang Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU-KPK) maka bertambahlah lembaga peradilan yang berwenang untuk menangani tindak pidana korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dari pengaruh kekuasaan manapun. Hal inilah yang secara mendasar merupakan perbedaan antara lembaga KPK dengan Kejaksaan/Kepolisian karena lembaga Kejaksaan dan Kepolisian tidak bersifat independen namun merupakan lembaga pemerintah (eksekutif) di bawah Presiden.

Luasnya kewenangan KPK menjadikan lembaga ini dijuluki sebagai “super body” yang dapat menyentuh seluruh elemen negara dan masyarakat dalam memberantas tindak pidana korupsi. Tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana aparat KPK telah masuk ke dalam ruangan Ketua Mahkamah Agung dan melakukan penggeledahan di dalam ruangan Ketua Lembaga Yudikatif tertinggi di negara kita ini.

Penanganan perkara KPK terhadap tindak pidana korupsi memang berbeda dengan Kejaksaan maupun Kepolisian karena KPK mempunyai wewenang-wewenang yang lebih luas dari lembaga Kejaksaan maupun Kepolisian dalam pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan perkara tindak pidana korupsi. Wewenang-wewenang tersebut antara lain :
1. Apabila lembaga KPK, Kejaksaan dan Kepolisian melakukan penyidikan secara bersamaan terhadap suatu tindak pidana korupsi, maka KPK adalah penyidik yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi tersebut (Pasal 50 ayat (3) UU-KPK).
2. KPK berwenang mengambil alih penyidikan/penuntutan terhadap pelaku korupsi dari Kepolisian/Kejaksaan (Pasal 8 ayat (2) UU-KPK).
3. KPK dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tanpa harus meminta ijin terlebih dahulu (Pasal 12 UU-KPK).
4.  KPK Tidak memerlukan prosedur khusus untuk melakukan tindakan pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat tertentu (Pasal 46 UU-KPK).
5.   KPK tidak memerlukan ijin dari Ketua PN dalam melakukan penyitaan (Pasal 47 UU-KPK).

Hal yang paling menarik dari adanya KPK ini adalah adanya ”Pengadilan khusus” yang hanya menangani perkara korupsi yaitu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau sering disingkat dengan ”Pengadilan Tipikor” yang bertugas dan berwanang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK (Pasal 53 UU-KPK). Di Pengadilan Tipikor ini, yang menjadi Majelis Hakim adalah Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim Ad hoc yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia atas usul Ketua Mahkamah Agung (Pasal 56 UU-KPK). Luasnya kewenangan KPK dan adanya Peradilan Tipikor tersebut memang ditanggapi secara a priori oleh sebagian kalangan, termasuk adanya pendapat bahwa KPK merupakan ”Sistem Peradilan Pidana Tandingan” dari Sistem Peradilan Pidana yang ada.

Di samping itu, sebagian kalangan juga berpendapat bahwa KPK tidak mengenal asas presumption of innosence (praduga tak bersalah) karena apabila terdapat para tersangka pelaku tindak pidana korupsi yang telah terungkap di tahap penyidikan, maka tersangka tersebut sudah hampir pasti dinyatakan ”terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi”, karena Penyidik, Penuntut Umum sampai ke Pengadilan Tipikor, semuanya berada di bawah payung KPK. Hal tersebut berbeda dengan Sistem Peradilan Pidana yang ada sekarang, karena bila terdapat tersangka yang diduga kuat telah melakukan di tahap penyidikan, belum tentu Jaksa Penuntut Umum berpendapat sama. Demikian juga Majelis Hakim di Pengadilan Negeri yang kadang menjatuhkan putusan bebas atau terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi meskipun Penyidik dan Penuntut Umum berkeyakinan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. 

Sedang bila kita melihat melihat banyaknya Tim-tim gabungan yang dibentuk dalam upaya pemberantasan korupsi seperti TGTPK atau Timtas Tipikor atau Tim Pemburu Koruptor, Pada dasarnya bertujuan sama dengan pembentukan KPK, yaitu dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi.

TIMTAS TIPIKOR misalnya yang dibentuk dengan Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2005, beranggotakan 48 orang dari Kejaksaan, Kepolisian dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dimana saat itu Timtas Tipikor dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) HENDARMAN SUPANDJI, SH. Hanya bersifat sementara dengan masa tugas selama dua tahun sejak 2 Mei 2005 sampai dengan 2 Mei 2007.

Dari sisi kewenangan, Tim Tastipikor tidak berwujud super body sebagaimana KPK, artinya Tim Tastipikor menjalankan kewenangannya dalam hal penyidikan dan penuntutan berdasarkan KUHAP sebagaimana Kejaksaan dan Kepolisian dan menempuh prosedur-prosedur yang sama dengan yang ditempuh oleh Kejaksaan dan Kepolisian.

Di samping itu, Tim Tastipikor melimpahkan berkas perkara tindak pidana korupsi untuk diperiksa dan diputus ke Pengadilan Negeri dan tidak ke Pengadilan Tipikor (sebagaimana KPK), sehingga masih dapat terjadi adanya Putusan Bebas dari Majelis Hakim terhadap perkara korupsi yang penyidikan dan penuntutannya dilakukan oleh Tim Tastipikor. Hal tersebut terlihat pada Kasus Korupsi Pembobolan Bank Mandiri, dimana terdakwanya ECW. NELOE (Direktur Utama PT Bank Mandiri), dkk diputus bebas oleh Majelis Hakim Jakarta Selatan.
Namun bila dilihat dari prestasi, Timtas Tipikor cukup diacungi jempol oleh banyak kalangan, dalam masa tugas 2 tahun, Timtas Tipikor telah menangani sebanyak 72 perkara, dan telah menyelamatkan uang negara di tingkat pusat senilai Rp 3,946 triliun dan uang atau aset daerah senilai Rp 4,105 miliar dan menariknya adalah bahwa selama masa tugasnya Timtas Tipikor menyerap anggaran sekitar Rp 25 miliar atau 60,6% dari seluruh anggaran yang dialokasikan yakni sebesar Rp 41,2 miliar.

PENUTUP

Meskipun secara teoritis, lembaga semacam KPK maupun Tim Tastipikor ini dianggap oleh sebagian kalangan menjadi semacam “pengganggu” dari Sistem Peradilan Pidana yang sudah ada, namun secara policy (kebijakan) lembaga tersebut mungkin diperlukan dalam upaya mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dalam latar belakang pembentukan kedua lembaga ini, yang pada dasarnya adalah untuk menjawab tuntutan masyarakat luas untuk memberantas korupsi di negeri ini.

Di samping itu, pada prakteknya jarang terdapat tumpang tindih penanganan perkara korupsi antara KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Hal tersebut disebabkan apabila Kejaksaan dan Kepolisian menangani perkara korupsi, kedua lembaga tersebut wajib mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke KPK paling lambat 14 hari kerja sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan oleh masing-masing lembaga tersebut (Pasal 50 ayat (1) UU-KPK). Sejak saat itulah KPK akan melakukan supervisi dan trigger kepada Kejaksaan dan Kepolisian dalam melakukan penanganan perkara korupsi.
 

[1] Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction”, 1968. hal. 3.
[2] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998,  hal. 39.
[3] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2001, hal. 28.
[4] Ibid.                                         
[5] Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Kaitannya dengan Pembaruan Kejaksaan, dalam Media Hukum Vol. 2 Nomor 1, tahun 2003, hal 30.
[6] Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993, hal.1.
[7] Sebagai catatan Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB tentang Hak Ekosob (International Convention on Economic, Social and Cultural Rights- IESCR) dengan UU Nomor 11 tahun 2005.
[8] Dalam resolusi 31 Oktober 2003, Majelis Umum PBB menyatakan 9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi Internasional.

PS : Materi yang disampaikan dalam Diklat Prajabatan CPNS di Kalteng oleh Tim Penyaji dari Kejaksaan.

related post



2 komentar:

sebenernya sih enggan, karena takut juga dengernya, tapi gimana lagi ntar dibilang melanggar HAM, ga' ngasih tempat buat protes, dah nulis ga' tanggung jawab.. okelah konstruktif, dekonstrukstif maupun dekstruktif sekali pun aku siap dengarnya.
thanks for comment..