22 Mei, 2011

di TITIK NOL

...kembalilah kedalam rahim
segala tangis dan kebusukan
dalam sunyi yang mengiris
tempat orang-orang mengingkari
menahan ucapannya sendiri...
(Wiji Thukul, 1988) 

Dengan mantapnya korek gas itu membakar ujung batang rokok terakhir yang memiliki “kenikmatan tinggi sejak 1913” itu, gelap meredup sejenak, tampak tatapan hampa sipenghuni. kepulan asap yang pasti tidak sama layaknya kereta api pun menyusul setelah hisapan dalam, sebuah kegundahan. Kamar berukuran 2x3 m. itu tentu saja cukup kecil untuk sebuah cita raksasa yang terus menusuk pikiran, meminta satu kerja nyata guna mengejawantahkan dirinya keluar, cita itu menuntut, cita itu memaksa..! keheningan yang ada, tidaklah sama seperti keheningan pesta yang telah usai karena keheningan itu tidak berangkat dari satu keramaian, keheningan itu tidak berawal dan tidak pula berakhir! keheningan itu... keheningan itu... rumit dan susah untuk digambarkan sama rumit dan susahnya menjelaskan hitam yang ada. Dia memang tak bersuara, tapi dia tidak diam.

Makian kecil untuk semua jelas tidak cukup ketika produksi pikiran itu mulai diseragamkan, hasil karya pikir memiliki standarisasi tertentu yang entah siapa yang membuatnya, yang merupakan ukuran suatu pengakuan, coba lihat mereka yang bangga dengan titel menempel didahinya itu. Haramkah ketika kita menggunakan pikiran primordial kita? Dingin semakin mencekam meninggalkan pakaian yang menempel sudah 2,3,4 entah berapa hari sudah sebab menghitungnya sama saja dengan mengingat-ingat berapa banyak endapan kegagalan yang tersisa. Andai saja benar seperti yang dikatakan Brain, tokoh kartun berujud tikus putih pintar yang bercita-cita menguasai dunia ciptaan Warner Bros itu, ya, “rasa sakit hanyalah efek samping dari yang namanya kesuksesan”. Energinya memang tidak pernah habis seperti kelinci Energizer dalam iklannya “never say die”. Namun sosok dibalik api kecil dalam kegelapan itu yang melemparkan abunya keruang terbuka tanpa mempedulikan jatuh kemana itu, bukan sebuah mesin, bukan sesuatu yang tidak ada habisnya...
            
Dia memang bukan Spiderman yang sibuk, bergelantungan di gedung-gedung pencakar langit kota New York, ataupun super hero lainnya yang bisa sesumbar “hai, penjahat-penjahat kota berhati-hatilah, aku mengawasi kalian”. Dia hanyalah orang yang terlihat suka menyendiri dan tidak takut akan kesendiriannya itu, sama sukanya dia dengan Peter Parker yang memegang teguh kata-kata Paman Ben-nya, memegang teguh arti sebuah tanggungjawab. Layaknya prasasti, ia tidak bergeming sedikitpun dari gelap yang semakin lama semakin padat, rokok itu masih menyala walau hampir mendekati jari yang mengapitnya diikuti asap keluar masuk tenggorokannya berbarengan dengan oksigen dan karbon dioksida yang ganti-berganti, terus seperti itu, tidak peduli pada harmonis dan sinambungnya gerak sang waktu... Ingatannya menerawang jauh kebelakang ketika nenek sering bercerita tentang sebuah kebenaran, sebuah kebaikan, sebuah ketidakadilan, sebuah legenda yang kadang dibungkus karakter binatang dan ditutup sebaris kata-kata, orang menyebutnya nasehat, menjelang tidur. Dulu nenek sering berpesan “le, sesok gede, dadilah wong seng berguna kanggo nusa dan bangsa” dijawab singkat “iya, mbah...” tanpa pernah bertanya dan mempertanyakan sampai nenek itu kini berada di surga, katanya. sebagaimana kini ia harus memikul beban berat dipundaknya, sekarung tanda tanya..!
         
Mau atau tidak, ujung api sudah terasa panas, hisapan terdalam dengan hembusan panjang tampak mengakhiri nasib rokok yang tadi diharapkan dapat menemaninya melewati dinginnya malam. Beberapa detik asap masih mengepul di dalam kamar saksi bisunya meludahi wajah dunia dan sekarang hanya terlihat luasnya sebuah kegelapan yang akan membuat orang tidak akan percaya kalau dia hanya berada dalam sebuah 2x3 m. yang memang akan tetap kecil untuk sebuah cita raksasa, tidak kemarin, sekarang, hari ini, disini, besok, selamanya... heningpun masih sama rumit dan susahnya seperti cita yang entah kapan bermula dan kapan akan berakhir itu, ya rumit dan susah... Dia memang tak bersuara, tapi dia tidak diam.

Malang, 06 Desember 2004. 01.35 pm
Keluar kau dari kepalaku!
 

related post



0 komentar:

Posting Komentar

sebenernya sih enggan, karena takut juga dengernya, tapi gimana lagi ntar dibilang melanggar HAM, ga' ngasih tempat buat protes, dah nulis ga' tanggung jawab.. okelah konstruktif, dekonstrukstif maupun dekstruktif sekali pun aku siap dengarnya.
thanks for comment..